Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom PT Bank Permata (BNLI) Tbk. Josua Pardede memperkirakan inflasi akan berada di kisaran 6 persen hingga 7 persen pada akhir tahun ini setelah pemerintah menaikkan harga BBM jenis Pertalite, Solar dan Pertamax.
Josua menilai, level psikologis Rp10.000 dapat menjadi penetapan harga untuk mengurangi subsidi BBM agar nilai subsidi dalam APBN tak membengkak menjadi Rp700 triliun atau tetap Rp502,4 triliun.
Dari sisi daya beli, BNLI menghitung direct impact kenaikan harga Pertalite 30,72 persen menjadi Rp10.000 per liter ke inflasi sebesar 0,99 persen. Kemudian untuk indirect impact, Josua memprediksi akan sebesar setengah dari direct impact atau sekitar 0,50 persen.
Sementara itu, jika harga Solar naik menjadi Rp6.800 per liter atau naik 32,04 persen, maka direct impact terhadap inflasi diperkirakan sekitar 0,05 persen, sedangkan indirect impact sekitar 0,5 persen.
Kemudian, kenaikan harga Pertamax sebesar Rp2.000 menjadi Rp14.500 per liter juga mendorong tambahan inflasi sebesar 0,15 persen, dimana direct impact sebesar 0,1 persen dan indirect impact sebesar 0,15 persen.
"Jadi secara keseluruhan, jika pemerintah menaikkan Pertalite menjadi Rp10.000, Solar menjadi Rp6.800 dan Pertamax menjadi Rp14.500, maka ada tambahan inflasi sekitar 2,2 persen. Dengan demikian, hingga akhir tahun ini, inflasi diperkirakan akan berkisar 6-7 persen," kata Josua kepada Bisnis, Minggu (4/9/2022).
Di samping itu, dampak kenaikan harga BBM yang diikuti dengan kenaikan inflasi dan potensi kenaikan suku bunga acuan BI diprediksi bakal mulai terindikasi pada perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2022, meskipun kata Josua, pertumbuhan ekonomi diproyeksi akan berkisar di 5 persen pada akhir 2022.
Josua memperkirakan dampak kenaikan harga BBM akan lebih signifikan pada pertumbuhan ekonomi di 2023, yang diprediksi cenderung melambat di kisaran 4,8 persen hingga 4,9 persen.