Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat kebijakan publik menilai bahwa naiknya harga BBM seperti Pertalite, Solar, dan Pertamax merupakan langkah kejam pemerintah kepada masyarakat, karena tidak memilih opsi lain seperti membatalkan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru atau menggunakan defisit APBN.
Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai bahwa naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) akan sangat membebani masyarakat. Ketika tekanan pandemi Covid-19 belum sepenuhnya hilang, bebannya bertambah oleh kenaikan harga BBM.
Menurutnya, sebenarnya pemerintah bisa mengambil langkah lain, seperti menggunakan ruang defisit anggaran di atas 3 persen. Belanja masih bisa ditambah untuk subsidi dan penyaluran bantuan sosial, karena 2022 menjadi tahun terakhir dalam pelebaran defisit APBN.
Menurutnya, pemerintah pun harus menyadari prioritas belanja APBN dalam kondisi sulit seperti saat ini. Pemerintah semestinya membatalkan belanja-belanja yang justru menjadi beban APBN, seperti proyek ibu kota negara (IKN).
“Proyek-proyek infrastruktur yang lemah proyeksi benefitnya terhadap APBN harus dialihkan dulu untuk menangani subsidi BBM, contohnya tunda pembangunan IKN dan penanaman modal negara [PMN] kereta api cepat,” ujar Achmad pada Sabtu (3/9/2022).
Dia menyebut bahwa penyaluran bantuan sosial (bansos) senilai Rp24,17 triliun tidak akan cukup untuk meredam dampak kenaikan harga BBM. Menurutnya, bansos itu tidak akan melindungi kelas menengah yang berpotensi menjadi miskin akibat kenaikan harga BBM ini.
Baca Juga
Achmad menyebut bahwa pemerintah seharusnya mau mencari cara lain dalam mengatasi masalah harga minyak, sehingga rakyat tidak perlu menanggung risiko ekonomi yang berat. Kenaikan harga BBM akan menjaga alokasi anggaran subsidi, tetapi justru rakyat yang menanggung bebannya.
“Terkesan pemerintah sangat kejam, tidak peduli dengan kondisi rakyatnya, dan hanya peduli dengan proyek-proyek mercusuarnya, antara lain ibu kota baru dan kereta api cepat,” kata Achmad.