Bisnis.com, JAKARTA -- Konsultan properti KnightFrank Indonesia menilai minimnya gedung berkonsep ESG (Environtmental, Social and Governance) atau green building di Jakarta terkendala tingginya nilai investasi yang harus dikeluarkan developer.
Associate Director Property and Engineering Management Knight Frank Indonesia Toni Peredina mengatakan biaya diperlukan untuk membangun gedung ESG lebih besar 30-40 persen.
"Kendala yang dialami para pengembang properti biasanya adalah nilai investasi yang dibutuhkan jauh lebih tinggi dari bangunan biasa, yaitu sebesar 30-40 persen. Semakin tinggi tingkatan green yang ingin dicapai maka semakin tinggi juga nilai investasinya," kata Toni saat dihubungi Bisnis, Selasa (23/8/2022).
Perbedaan nilai investasi yang dikeluarkan berasal dari peralatan, bahan material, hingga teknologi yang digunakan harus ramah lingkungan. Namun, Toni menilai ada urgensi yang dapat menjadi pertimbangan developer.
"Hal ini mungkin bisa dilihat dari carbon footprint tax (pajak jejak karbon) yang akan diterapkan dan minat pasar terhadap gedung berkonsep green building," terangnya.
Dengan biaya investasi yang tinggi, tak heran jika harga sewa di gedung bersertifikat hijau ini lebih besar. Berdasarkan data dari Jakarta Property Highlight 1H2022 yang dirilis KnightFrank, rerata harga sewa ruang kantor ESG lebih tinggi 42 persen dari non ESG.
Di sisi lain, Toni menuturkan proyek apartemen dengan konsep green building dapat menekan biaya operasional yang akan berdampak pada service charge.
"Tetapi tentunya dengan harga pembangunan yang lebih mahal maka hal ini juga tentu akan turut mempengaruhi harga jual unitnya," tandasnya.
Lebih lanjut, Toni meyakini penambahan jumlah gedung ESG dapat bertambah di berbagai subsektor properti jika diiringi dengan regulasi dan insentif yang diterapkan pemerintah, misalnya dalam bentuk pemotongan biaya PBB dan sebagainya.