Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia disebut berada di posisi yang menguntungkan di tengah gejolak ekonomi global yang melanda sebagian besar negara sepanjang semester I/2022 ini.
“Indonesia berada pada posisi yang menguntungkan untuk menghadapi guncangan ekonomi global terkini akibat kombinasi dari good policy dan good luck,” kata Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky, Kamis (4/8/2022).
Hal ini kata Riefky tercermin dari kegiatan ekonomi domestik yang meningkat pesat.
Sektor ekonomi utama, seperti manufaktur, perdagangan grosir dan eceran, konstruksi, serta teknologi informasi dan komunikasi, yang berkontribusi sekitar 50 persen dari PDB, mencatat pertumbuhan yang meningkat pada kuartal I/2022.
Sektor yang mengandalkan aktivitas fisik, seperti transportasi dan penyimpanan, serta akomodasi dan makanan minuman, menunjukkan peningkatan yang cukup besar karena pelonggaran kebijakan pembatasan sosial.
“Pemulihan ekonomi juga tercermin dari konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,34 persen secara tahunan pada kuartal I/2022, lebih tinggi dibandingkan tiga bulan terakhir tahun 2021,” jelasnya.
Baca Juga
Dia pun memperkirakan konsumsi rumah tangga pada kuartal II/2022 akan tumbuh lebih tinggi karena momentum Ramadan dan Hari Raya Idulfitri.
Sejalan dengan pulihnya permintaan, penyaluran kredit perbankan terus meningkat.
Selain itu, dia menilai seluruh komponen pengeluaran lainnya, yaitu investasi dan ekspor juga mencatat pertumbuhan positif pada periode yang sama.
Riefky mengatakan realisasi investasi pada kuartal II/2022 merupakan yang tertinggi dalam satu dekade terakhir, dengan penyumbang utama berasal dari sektor manufaktur.
Kinerja ekspor juga mencatatkan perbaikan yang signifikan dalam satu tahun terakhir, dengan surplus perdagangan pada kuartal II/2022 yang mencapai US$15,6 miliar.
“Melonjaknya harga komoditas membawa momentum bermanfaat bagi ekspor karena Indonesia merupakan net eksportir komoditas energi utama. Surplus perdagangan barang kemudian mendorong surplus transaksi berjalan,” kata dia.
Lebih lanjut, Riefky mengatakan surplus perdagangan yang terus berlanjut juga telah meredam dampak pengetatan moneter terhadap arus keluar modal dan depresiasi karena ekspor yang lebih tinggi daripada impor mengindikasikan likuiditas valuta asing yang lebih besar di pasar.
“Lebih penting lagi, kepemilikan asing atas aset keuangan yang imenurun telah memberi Indonesia ruang yang cukup untuk menyerap guncangan global dibandingkan dengan negara lain sejauh ini, terutama dalam hal inflasi dan volatilitas mata uang,” jelas dia.