Bisnis.com, JAKARTA - DPR RI mempertanyakan keputusan perusahaan ekspedisi JNE mengubur beras bantuan Kementerian Sosial di Depok, Jawa Barat, lantaran diklaim tidak layak konsumsi alias rusak.
Anggota Komisi VIII DPR Buhkori Yusuf menyayangkan perlakuan terhadap beras bantuan sosial (bansos) yang dilakukan dengan cara dikubur tersebut.
Menurutnya keputusan itu tidak bijaksana dan melukai perasaan masyarakat miskin. Padahal, sambungnya, beras itu bisa dijual kembali ke pihak lain sebagai campuran pakan ternak.
"Setidaknya itu bisa lebih bermanfaat dan tidak menimbulkan kecurigaan," ujarnya di Jakarta, Selasa (2/8/2022).
Bukhori pun mendesak Kementerian Sosial (Kemensos) untuk menjelaskan kepada publik soal penimbunan oleh oleh perusahaan ekspedisi di lahan kosong tersebut.
Desakan tersebut dia layangkan kepada Kemensos lantaran beras bansos yang merupakan Bantuan Presiden tersebut penyalurannya dikoordinasikan oleh Kemensos.
Baca Juga
Di sisi lain, ada ketidaksinkronan antara keterangan JNE dan Dinsos Depok soal kesepakatan membuang beras bansos yang rusak. Dinsos Depok menyangkal adanya kerja sama dengan JNE soal penyaluran bansos.
"Sementara, berdasarkan keterangan resmi JNE, mereka mengklaim penimbunan beras tersebut dilakukan atas perjanjian kerja sama kedua belah pihak, lalu pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud JNE ini adalah Kemensos? Ini yang perlu diperjelas supaya tidak menimbulkan spekulasi liar," papar Bukhori.
Bukhori mengatakan bahwa selama ini Kemensos belum pernah menjelaskan secara transparan kepada Komisi VIII DPR terkait perlakuan terhadap bansos beras tidak layak konsumsi yang pernah diterima oleh Keluarga Penerima Manfaat (KPM), melainkan hanya ditarik kembali oleh pihak Kemensos.
"Namun sejauh pengetahuan kami, Kemensos belum pernah menerangkan kepada kami soal bagaimana nasib dari bansos beras yang ditarik kembali itu. Apakah dikembalikan kepada pemasok, dijual, atau disimpan di tempat tertentu," ungkap Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR itu.
Dia menambahkan, terkait dengan Bansos Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebenarnya pernah mengungkapkan temuannya terkait bansos tersebut dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2020. Dalam temuan tersebut dipaparkan bahwa terdapat indikasi ketidakwajaran harga dalam proses pengadaan barang dan jasa pada kegiatan Banpres Sembako.
Ketidakwajaran itu di antaranya penawaran barang disampaikan setelah penandatanganan surat perintah kerja (SPK), pejabat pembuat komitmen (PPK) tidak melakukan klarifikasi dan negosiasi harga, dan PPK tidak meminta penyedia menyampaikan bukti pendukung kewajaran harga.
Belum lagi PPK yang tidak meminta Aparat Pengawasa Intern Pemerintah (APIP) melakukan audit untuk memastikan kewajaran harga, serta harga pembelian beras premium melebihi harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp3,29 miliar.
"Hal ini mengakibatkan terdapat indikasi kemahalan harga dan harga yang disediakan penyedia banpres sembako tidak diyakini dapat dipertanggungjawabkan," bunyi laporan tersebut.