Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Oxford Economics: Risiko Capital Outflow Indonesia Cenderung Menurun

Rendahnya risiko capital outflow Indonesia mencerminkan stabilitas relatif rupiah di tengah strategi Bank Indonesia melalui kebijakan triple intervention.
Pegawai menunjukan mata uang rupiah dan dolar Amerika Serikat di Dolar Asia Money Changer, Jakarta, Senin (18/7/2022). Bisnis/Himawan L Nugraha
Pegawai menunjukan mata uang rupiah dan dolar Amerika Serikat di Dolar Asia Money Changer, Jakarta, Senin (18/7/2022). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis,com, JAKARTA – Laporan terbaru dari Oxford Economics memperkirakan risiko arus modal keluar atau capital outflow Indonesia cenderung lebih rendah dibandingkan siklus pengetatan moneter AS sebelumnya.

Lead Economist Oxford Economics Sian Fenner mengatakan Indonesia biasanya paling sensitif terhadap arus keluar modal dan pelemahan mata uang dalam siklus pengetatan AS sebelumnya.

“Namun, di mana BI biasanya bergerak sejajar dengan The Fed, kali ini BI menonjol sebagai salah satu dari dua negara Asean yang tidak menaikkan suku bunga,” ungkap Sian dalam risetnya, dikutip Rabu (20/7/2022).

Sian melanjutkan, hal ini mencerminkan stabilitas relatif rupiah di tengah strategi Bank Indonesia melalui kebijakan triple intervention, yaitu intervensi di pasar spot, pasar Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), dan pembelian SBN di pasar sekunder.

Selain itu, kerentanan Indonesia terhadap capital outflow cenderung lebih rendah. Hal ini didorong oleh posisi neraca transaksi berjalan Indonesia yang surplus dan porsi kepemilikan asing atas Surat Utang Negara yang turun menjadi sekitar 16 persen dibandingkan dengan 40 persen sebelum pandemi.

Namun, arus keluar ekuitas yang tajam dan premi risiko yang meningkat sejak Juni menunjukkan melemahnya sentimen investor.

Terkait suku bunga acuan, Sian memperkirakan kebijakan BI akan sejalan dengan bank sentral lain di Asia Tenggara yang tidak mengikuti Federal Reserve (The Fed) yang agresif menaikkan suku bunga acuan tahun ini.

Hal ini dikarenakan perekonomian negara-negara Asean masih dalam tahap awal bangkit dari pandemi, dengan kesenjangan output negatif yang masih besar meskipun mulai menyempit.

Langkah pengetatan bank sentral Asean yang agresif dapat akan pemulihan laju ini. Selain itu, inflasi yang mulai merangkak di Asean masih lebih rendah daripada inflasi di AS dan Eropa.

“Dengan pulihnya permintaan di Asean, guncangan pasokan yang masih ada, dan tekanan inflasi yang meningkat, kami tidak berpikir bahwa semua bank sentral Asean dapat membiarkan mata uang mereka terus melemah,” ungkap Sian.

Sian memperkirakan BI akan memulai siklus kenaikan suku bunga pada kuartal III/2022 seiring dengan inflasi yang masih di atas kisaran target selama semester II/2022.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper