Bisnis.com, JAKARTA - Sebagai Otoritas Moneter, Bank Indonesia (BI) tidak hanya menjaga marwah rupiah terhadap harga barang/jasa, dan mata uang asing. Seiring dengan kemajuan teknologi digital, tantangannya pun kian berat karena BI dituntut untuk menjaga marwah rupiah terhadap cryptocurrency (aset kripto).
Kian meluasnya penggunaan aset kripto sebagai aset investasi digital, bahkan sebagai alat pembayaran digital, tentu menjadi ancaman bagi ‘kedaulatan’ rupiah. Bank Dunia (2021) melaporkan dari 10 negara dengan tingkat kepemilikan aset kripto tertinggi. Indonesia berada di urutan keempat yakni mencapai 22,4 persen.
Sementara itu, urutan teratas ditempati oleh Vietnam sebesar 28,6 persen, kemudian India 23,4 persen, dan Australia 22,9 persen. Tidak hanya sebatas itu, sejumlah korporasi raksasa perlahan tetapi pasti mulai menggunakan aset kripto sebagai alat pembayaran.
Misalnya, maskapai Emirates berencana menambahkan Bitcoin dan non-fungible token (NFT) sebagai alat pembayaran. Hal yang sama akan dilakukan oleh pabrik mobil listrik Tesla.
Maraknya penggunaan aset kripto, sejatinya berpotensi mengembangkan inklusi dan efisiensi sistem keuangan. Namun, di sisi lain juga berpotensi menimbulkan sumber risiko baru yang dapat memengaruhi stabilitas ekonomi, moneter, dan sistem keuangan.
Hal tersebut lantaran sejumlah faktor. Pertama, nilai aset kripto sangat berfluktuatif, sehingga mungkin bisa naik hingga ratusan persen tanpa batas. Namun, risiko penurunan nilainya pun tidak berbatas. Bisa saja, investor (trader) yang barusan untung, seketika bisa rugi besar.
Baca Juga
Kedua, aset kripto tidak memiliki basis fundamental sehingga meskipun disebut koin, kripto bukanlah layaknya mata uang seperti rupiah. Ketiga, tidak memiliki badan otoritas.
Berkaca dari sejumlah risiko di atas, BI merasa perlu menerbitkan Central Bank Digital Currency (CBDC) atau rupiah digital. Tentu Indonesia tidak sendirian. Hasil survei Bank of International Settlement (2021) mencatat dari 65 bank sentral berbagai negara, 86 persen tengah mengkaji hingga mengembangkan konsep CBDC.
Sementara itu, nyaris 15 persen di antaranya mulai membuat proyek percontohan. Bahkan, China menjadi negara pertama yang menerbitkan mata uang digital (Digital Yuan). Mata uang ini kelak diharapkan dapat menggantikan posisi uang tunai yang ditarik dari peredaran secara bertahap. Disusul Jepang, AS, dan sejumlah negara Eropa.
Sedangkan Bank Indonesia terus mendalami CBDC, dan akhir tahun ini berada pada tahap penerbitan white paper pengembangan rupiah digital (DKom BI, 2022). Adapun CDBC atau rupiah digital yang dimaksud adalah mata uang digital yang diterbitkan oleh BI. Jika dilihat secara konsep, rupiah digital mirip dengan aset kripto. Hal ini lantaran gagasan penerbitan rupiah digital dilatarbelakangi oleh keberadaan aset kripto.
Namun, yang berbeda adalah nilai rupiah digital dipatok berdasarkan mata uang kartal negara yang diterbitkan BI. Jadi kelak kegunaan rupiah digital sama dengan rupiah konvensional, yakni sebagai alat tukar yang sah, dan dilindungi UU.
CDBC atau rupiah digital dipercaya memiliki keunggulan, antara lain: bisa diterima secara global, terpercaya, dan bersifat inklusif; bisa digunakan sebagai uang tunai yang lebih stabil (seperti uang elektronik).
Selain itu, bisa juga digunakan untuk implementasi kebijakan fiskal dan moneter tertentu; dan pengawasan yang lebih besar, lebih mudah dilacak sebagai upaya mencegah kejahatan dalam sistem keuangan.
Kendati demikian, penggunaan rupiah digital tetap saja memiliki risiko, antara lain: kerentanan data pribadi yang sulit dipastikan keasliannya (anonimitas), dan kekhawatiran bobolnya kerahasiaan data pribadi; terjadinya persaingan dominansi mata uang baru (currency cold wars), dan persaingan di dunia digital;
Selain itu, bisa berimbas juga pada melemahnya fungsi intermediasi perbankan, karena biaya pendanaan yang bertambah serta adanya kemungkinan terjadi volatilitas; terjadinya kompetisi pembayaran, dan kekhawatiran akan keamanan data pribadi.
Oleh karena itu, dalam mengeksplorasi penerbitan rupiah digital, BI mengacu pada sejumlah tujuan pokok. Pertama, menyediakan alat pembayaran digital yang bebas risiko, dengan menggunakan uang bank sentral. Kedua, memitigasi risiko mata uang digital non-otoritas.
Ketiga, memperluas efisiensi dan ketahapan sistem pembayaran, termasuk pembayaran lintas batas. Keempat, memperluas dan mempercepat inklusi keuangan. Kelima, menyediakan instrumen kebijakan moneter baru, dan memfasilitasi distribusi subsidi fiskal.
Dengan demikian, penerbitan CBDC tidak dilakukan secara gegabah, dan asal mengikuti ‘jejak’ aset kripto. Melainkan ada prasyarat yang harus dipenuhi, antara lain, desain CBDC atau rupiah digital yang tidak mengganggu stabilitas moneter dan sistem keuangan.