Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menyatakan bahwa talam 3 tahun mendatang, pengenaan pajak karbon bukan hanya berlaku terhadap pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. Setidaknya, empat sektor perlu bersiap jika nantinya dikenakan pajak karbon.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam dialog Sustainable Finance for Climate Transition Roundtable. Dialog itu berlangsung pada Kamis (14/7/2022) sebagai bagian dari rangkaian acara pertemuan G20 di Bali.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah akan tetap mengimplementasikan pajak karbon pada tahun ini, meskipun sempat tertunda dua kali dari rencana awal. Dia bahkan menyampaikan rencana pengembangan implementasi pajak itu, yakni teradpat perluasan objek pajak pada tiga tahun mendatang.
"Pada 2025, penerapan pajak karbon dapat diperluas ke sektor NDC [Nationally Determined Contributions] lainnya dengan mempertimbangkan kesiapan sektor kita, serta tentunya situasi pandemi dan ekonomi global," ujar Sri Mulyani pada Kamis (14/7/2022).
Dia tidak merinci sektor apa saja yang akan menjadi objek perluasan pertama kali. Namun, dalam dokumen NDC tertulis bahwa kontributor terbesar emisi karbon di Indonesia adalah sektor energi dan transportasi, pengolahan sampah, proses industri dan penggunaan produk (industrial processes and product use/IPPU), serta kehutanan dan perkebunan.
Sektor energi dan transportasi mencakup produksi listrik oleh PLTU yang bersumber dari batu bara serta penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk aktivitas transportasi. Sektor ini mencatatkan emisi karbon tertinggi, sehingga kebutuhan biaya untuk mengubahnya menjadi energi hijau pun sangat besar.
Kementerian Keuangan merinci bahwa kebutuhan dana sektor energi dan transportasi untuk bertransisi menuju energi hijau mencapai Rp26.601,3 triliun. Angka itu merupakan akumulasi kebutuhan dana dari saat ini hingga 2060, untuk menekan emisi karbon di sisi hulu, antara, hingga hilir.
Di posisi kedua terdapat kebutuhan dana untuk sektor pengolahan sampah, yakni mencapai Rp829,8 triliun. Selanjutnya, terdapat sektor proses industri dan penggunaan produk dengan kebutuhan dana mencapai Rp730,8 triliun.
Penurunan emisi karbon di sektor kehutanan tercatat membutuhkan dana hingga Rp70,14 triliun. Kemudian, sektor agrikultur mencatatkan kebutuhan dana Rp1,44 triliun.
Sri Mulyani menyebut bahwa penerapan pajak karbon merupakan upaya di sisi keuangan untuk mengurangi emisi karbon, bersamaan dengan penerapan perdagangan karbon.
"Penerapan pajak karbon bertujuan untuk mengubah perilaku yang mendukung pengurangan emisi, serta mendorong inovasi dan investasi dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan, keterjangkauan, serta penerapan secara bertahap dan terukur," kata Sri Mulyani.