Bisnis.com, JAKARTA – Inflasi tertinggi dalam 41 tahun terakhir sebesar 9,1 persen yang dialami Amerika Serikat berpotensi memperlambat proses pemulihan industri manufaktur Indonesia semester II/2022.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bima Yudhistira mengatakan terdapat dua faktor utama yang bisa memicu perlambatan tersebut.
Pertama, berkurangnya prospek Amerika Serikat sebagai salah satu negara tujuan utama ekspor manufaktur Indonesia. Negeri Paman Sam, jelasnya, tidak begitu prospektif karena mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat inflasi.
"Dampak inflasi AS cukup signifikan bagi manufaktur RI. Sebagai pasar tujuan ekspor negara tersebut kurang prospek karena inflasi yang tinggi membuat pertumbuhan ekonominya turun," kata Bhima kepada Bisnis, Kamis (14/7/2022).
Kedua, dampak transisi moneter yang dinilai akan lebih agresif. Dengan kata lain, lanjutnya, industri manufaktur mesti bersiap menghadapi kenaikan tingkat suku bunga yang lebih tinggi di tengah kondisi permintaan pasar yang belum tentu membaik.
Menghadapi tantangan tersebut, Bhima menilai terdapat sejumlah strategi yang bisa diterapkan oleh pelaku industri manufaktur dalam negeri.
Pertama, melakukan substitusi impor bahan baku serta lebih selektif dalam mencari negara-negara tujuan ekspor, selain Amerika Serikat ataupun pasar lain yang mengalami inflasi tinggi.
Ketiga, melakukan efisiensi dalam bentuk penurunan gross profit margin, dan melakukan downsizing ukuran produk. Jadi, sambungnya, kiat-kiat yg digunakan selama pandemi Covid-19 masih relevan untuk diterapkan.
Kelima, mencari alternatif pembiayaan. "Tidak hanya mengandalkan obligasi atau pinjaman bank, tapi bisa dari right issue. Kalau untuk korporasi multinasional, bisa melalui suntikan dana dari negara induk," kata Bhima.
Terpisah, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan inflasi AS berdampak negatif terhadap arus kas dan daya saing industri manufaktur nasional akibat kenaikan beban input produksi seperti bahan baku penolong impor.
"Kalau perusahaan tidak bisa mengelola kenaikan beban ini, yang akan terjadi adalah stagnasi atau kontraksi pertumbuhan kinerja sektor manufaktur," kata Shinta kepada Bisnis.
Kondisi tersebut, sambungnya, bisa membahayakan potensi pemulihan ekonomi nasional hingga akhir tahun karena industri manufaktur berkontribusi terhadap sekitar 30 persen pertumbuhan GDP.
Dia menambahkan banyak industri yang sudah kewalahan untuk membendung beban pelemahan nilai tukar serta kenaikan harga impor sehingga terlihat pada level confidence PMI manufaktur yang cenderung turun.
Sebagai informasi, IHS Markit mencatat PMI masih dalam laju ekspansi meski secara bulanan mengalami penurunan menjadi 50,2 pada Juni 2022. Pada Mei, PMI tercatat 50,8 dan April tercatat 51,9.
Namun, kinerja indeks manufaktur masih berada dalam laju ekspansi pada kuartal II/2022 kalau menurut PMI Bank Indonesia.
Dalam laporan Bank Indonesia, kinerja industri pengolahan yang mengalami peningkatan. Prompt Manufacturing Index BI (PMI-BI) mencapai 53,61. Atau lebih tinggi dari posisi pada kuartal I/2022 sebesar 51,77.