Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menyatakan bahwa mekanisme pasar karbon dapat berjalan meskipun belum terdapat regulasinya di Indonesia. Perdagangan dan pajak karbon menjadi instrumen keuangan untuk menekan emisi karbon dan mengatasi dampak krisis iklim.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa pemerintah terus membangun dan menyiapkan pasar karbon yang terintegrasi dengan mekanisme secara global. Terdapat mekanisme cap and trade, yakni entitas dapat membeli sertifikat izin emisi jika menghasilkan emisi di atas batas (cap).
Saat ini memang belum terdapat ketentuan yang lengkap mengenai implementasi pasar karbon di Indonesia. Namun, Sri Mulyani menyebut bahwa perdagangan karbon dapat tetap berjalan agar terjadi pengembangan.
"Harga dan pajak [karbon] bisa di-introduce, belum ada regulasi bukan berarti carbon market belum bisa dimulai," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers forum bisnis Sustainable Finance: Instrument and Management in Achieving Sustainable Development of Indonesia, Rabu (13/7/2022).
Pemerintah menyatakan akan membangun reputasi dan reliabilitas pasar karbon Indonesia. Selain menjadi instrumen untuk menekan emisi karbon, mekanisme itu juga bisa menambah pendapatan negara, sehingga terdapat dana ekstra untuk upaya penanganan krisis iklim.
"Kami terus berkoordinasi dan menguji coba mekanismenya," kata Sri Mulyani.
Baca Juga
Sementara itu, instrumen keuangan lainnya, yakni pajak karbon masih tertunda pelaksanaannya. Padahal, Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengamanatkan pajak karbon mulai berlaku 1 April 2022.
Pemerintah ternyata belum siap menjalankan amanat dari UU yang diusungnya sendiri, sehingga implementasi pajak karbon diundur menjadi 1 Juli 2022. Namun, amanat itu kembali tertunda dan belum terdapat kejelasan kapan akan mulai berlaku.