Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) meminta pemerintah untuk berhati-hati terkait dengan rencana mewajibkan industri dalam negeri untuk membeli listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Bobby Gafur Umar menilai inisiatif kebijakan itu berisiko untuk menambah beban industri di tengah harga bahan baku yang terlanjur tertahan tinggi akibat inflasi tahun ini.
Apalagi, Bobby menambahkan, kawasan industri relatif sudah memiliki kontrak dengan nilai yang besar untuk pengadaan infrastruktur penunjang seperti jalan, air dan kelistrikan. Artinya, kebijakan itu juga berpotensi untuk mengganggu kontrak pengadaan listrik yang sudah diteken sebagian besar industri yang berada di kawasan industri.
“Selama ini pengadaan listrik di kawasan itu sudah berjalan dengan baik, pemerintah harus berhati-hati karena bisa mengakibatkan menurut saya susah untuk mem-break kontrak tersebut,” kata Bobby melalui sambungan telepon, Kamis (30/6/2022).
Di sisi lain, Bobby meminta pemerintah untuk dapat memastikan harga listrik yang ditawarkan oleh PLN tetap kompetitif dibandingkan dengan daya yang dihasilkan industri dari pembangkit listrik yang sudah terlanjur mereka investasikan. Menurutnya, harga kelistrikan PLN yang tidak kompetitif justru berisiko ikut mengerek inflasi domestik akibat ongkos produksi yang dominan disumbang oleh faktor kelistrikan.
Konsekuensinya, daya beli masyarakat bakal ikut terkoreksi akibat kebijakan mandatori pembelian listrik industri dari PLN tersebut. Saat daya beli terkoreksi, dia memastikan, realisasi serapan listrik di tengah masyarakat bakal tidak optimal.
“Sekarang bahan baku kita dilanda inflasi global, tiba-tiba harga listrik lebih mahal yang dari biasanya didapatkan, itu harus ada renegosiasi, kalau harga minimal sama tentu kita bisa bantu,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana untuk mewajibkan industri yang memiliki pembangkit listrik berbasis bata bara secara mandiri untuk beralih membeli listrik langsung dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Rencananya kewajiban itu bakal diarahkan kepada industri yang memiliki pembangkit listrik dengan kelas di atas 3 mega watt (MW).
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan langkah itu diambil untuk memperkecil ekses atau kelebihan pasokan listrik yang dimiliki PLN di tengah upaya pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Dadan beralasan salah satu kendala dari realisasi investasi dan pengembangan EBT di dalam negeri berasal dari posisi pasokan listrik yang berlebih dari PLN pada tahun ini.
“Bagaimana kita dorong industri itu bergeser, industri yang punya pembangkit sendiri dan ini banyak yang kelasnya 3 MW, yang kelasnya 10 MW digeser untuk membeli atau menggunakan listrik PLN,” kata Dadan dalam Seminar Bioenergi Tingkatkan Bauran Green Energy PLN yang disiarkan daring, Kamis (30/6/2022).
Adapun inisiatif kebijakan itu berasal dari rapat pimpinan terbatas Kementerian ESDM pada Rabu (29/6/2022). Rencanannya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif bersama dengan jajarannya bakal melakukan pembahasan lebih lanjut ihwal rencana peralihan pembelian listrik industri itu bersama dengan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada Senin (4/6/2022) mendatang.
Dadan mengungkapkan Menteri ESDM memiliki keyakinan bahwa inisiatif kebijakan peralihan pembelian listrik industri itu dapat berjalan optimal. Malahan, industri bisa untung ketika membeli listrik dari PLN di tengah harga batu bara yang belakangan tertahan tinggi akibat sentimen perang sejak awal awal tahun ini.
“Kalau saya lihat, industri beli batu baranya pasti di atas US$70 kalau pakai 6.200, sekarang PLN membelinya di angka tersebut pak menteri meyakini ini seharusnya bisa jalan wong dia [industri] beli batu baranya lebih mahal dari pada PLN, seharusnya ini win-win,” ungkapnya.