Bisnis.com, JAKARTA – Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) melaporkan sebanyak 67,7 persen Pekerja Migran Indonesia belum terlindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan. Salah satunya alasannya karena sulit mengakses informasi dari luar negeri.
Melalui kajian Efektifitas Penyelenggaraan Jaminan Sosial Bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Masa Pandemi Covid-19, DJSN menemukan penyebab minimnya kepesertaan PMI dan jumlah klaim.
Team Leader Kajian Sugeng Bahagijo menyampaikan berdasarkan survei yang dilakukan oleh DJSN kepada sekitar 100 orang PMI dan pendamping PMI, salah satu temuannya yakni hampir 70 persen PMI tidak terdaftar sebagai peserta jaminan sosial PMI.
Sebagai informasi, DJSN menyusun laporan kajian tersebut dengan kerja sama mitra pembangunan pemerintahan Republik Federal Jerman, Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit GmBH (GIZ).
“Menurut estimasi kami ada sekitar 60 persen lebih belum menjadi anggota BPJamsostek,” paparnya dalam Media Briefing Hasil Kajian DJSN di Hotel Grand Sheraton, Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Berdasarkan data Bank Indonesia, ada sekitar 9 juta PMI, sedangkan yang terdata di SISKOP2MI hanya 4,6 juta. Artinya ada 4,4 juta PMI yang belum terdaftar secara resmi.
Bila mengacu pada data Bank Indonesia, artinya ada sekitar 6,09 juta PMI yang belum memiliki payung perlindungan dari negara berupa jaminan sosial ketenagakerjaan.
Di sisi lain, berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, jumlah kepesertaan dari sektor PMI per April 2022 hanya 205.295 pekerja.
Secara umum, minimnya kepesertaan tersebut akibat PMI tidak mendapatkan informasi yang lengkap terkait BPJS, menerima informasi tetapi tidak mendapat akses atau kanal pendaftaran dan pembayaran di luar negeri, dan PMI sudah memiliki asuransi di negara penempatan yang biasanya disediakan oleh majikan.
Lebih lanjut, pada dasarnya PMI resmi yang akan berangkat wajib menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, tetapi ketika habis masa kontrak di luar negeri, kepesertaannya tidak dilanjutkan karena tidak tahu bagaimana memperpanjang kepesertaannya.
Dalam paparan Sugeng, dapat dikatakan PMI tidak terlalu tertarik bahkan menilai jaminan sosial yang diberikan tidak lebih baik dari konsorsium asuransi yang sebelumnya berlaku. Banyak manfaat yang dinilai PMI tidak sesuai dengan kondisi mereka.
"Secara sadar teman-teman PMI itu tidak mau ikut, walaupun bisa, karena kurang cocok menu yang ada, mereka lebih membutuhkan JHT, tapi JHT sayangnya tidak termasuk paket yang ditawarkan. Yang diinginkan tidak ada, sementara yang tidak diinginkan itu ditawarkan," ungkap Sugeng.
Sementara itu, Direktur Penempatan Kawasan Amerika dan Pasifik Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Yana Anusasana Dharma Erlangga membeberkan sejak 2017 hingga 2022, hanya ada 766 klaim BPJS atau senilai dengan Rp27 miliar.
Padahal, iuran yang masuk sebesar Rp283 miliar atau uang yang dikeluarkan untuk klaim hanya mencakup 9,5 persen dari total iuran.
“Gak terlalu banyak uang yang dikeluarkan untuk klaim ini,” paparnya.
Bukan tanpa sebab, banyak PMI yang tidak melakukan klaim atas hak mereka karena minimnya informasi tersebut.