B20 Indonesia Perkuat Peran Komunitas Masyarakat dalam Perdagangan Kredit Karbon

Melalui B20 Indonesia berbagai inisiatif berkelanjutan seperti adopsi carbon market, pengelolaan hutan lestari, dan Net Zero Hub
Foto: Dok. KADIN Indonesia
Foto: Dok. KADIN Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA - Peran strategis Indonesia sangat ditunggu dalam upaya dunia mengatasi krisis iklim. Peran penting dan strategis diperlihatkan melalui berbagai kebijakan strategis, mulai dari kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), penyampaian berkala ambisi net zero pada 2060 sesuai submisi Updated Nationally Determined Contribution (NDC), hingga regulasi mekanisme perdagangan karbon di dalam negeri. 

Saat ini, Indonesia tengah menyiapkan dan akan mulai menerapkan pungutan atas emisi karbon atau pajak karbon seiring dengan pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP). Pemerintah juga telah menerbitkan Perpres 98 tahun 2021, tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. 

Komitmen pemerintah Indonesia juga didukung oleh KADIN Indonesia selaku penyelenggara B20 Indonesia melalui berbagai inisiatif berkelanjutan seperti adopsi carbon market, pengelolaan hutan lestari, dan Net Zero Hub. Ini menunjukkan kepemimpinan Indonesia dalam mengatasi dampak perubahan iklim melalui kolaborasi sektor publik dan swasta sehingga menginspirasi negara lain untuk melakukan hal yang sama. 

Sebagaimana tujuan dari B20 Indonesia adalah untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat ditindaklanjuti secara konkret untuk setiap prioritas pemerintah, KADIN Indonesia berharap inisiatif ini akan memberikan dorongan dan menjadi rekomendasi pemerintah dalam mengambil kebijakan iklim Indonesia. 

Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Agus Justianto menyampaikan bahwa sektor Forest and Other Land Uses (FOLU) atau sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya, diproyeksikan akan berkontribusi hampir 60% dari total target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagaimana dinyatakan dalam NDC. Hal ini menunjukkan betapa vitalnya peran sector kehutanan dalam upaya penanganan dan pengendalian emisi GRK di Indonesia dan tentunya bagi upaya pengendalian perubahan iklim dalam skala global. 

Hal itu dikatakan Agus saat memberikan sambutan dalam diskusi hybrid yang diselenggarakan B20 Trade and Investment Task Force berkolaborasi dengan ICDX (Bursa Berjangka dan Komoditi Derivatif Indonesia) mengenai “Reviving Local Community Through Decarbonization Projects in Indonesia,” Jumat (24/06/2022). Webinar ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai manfaat dari perdagangan kredit karbon yang merupakan potensi besar Indonesia bagi masyarakat daerah, dan secara lebih luas bagi ekonomi negara. 

“Kami sangat menyadari bahwa untuk mengimplementasikan skenario FOLU Net Sink 2030 hampir dipastikan akan membutuhkan sumber daya yang sangat besar, baik sumber daya anggaran, sumber daya manusia, teknologi dan sumber daya lainnya, sehingga dipastikan akan sangat membutuhkan dukungan para pihak meliputi; Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, dunia usaha, masyarakat, termasuk serta dukungan internasional,” tambah Agus. 

Selain Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Agus Justianto, forum diskusi ini menghadirkan Silverius Oscar Unggul, WKU Bidang Lingkungan Hidup & Kehutanan KADIN Indonesia; Sakariyas, Bupati Katingan Kalimantan Tengah; Riza Suarga, Ketua Umum Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA), dan Emmy Primadona, Program Coordinator KKI WARSI.

Saat ini terdapat lima sektor utama (Energi, Kehutanan, Pertanian, Limbah, dan IPPU) yang menjadi fokus dalam aksi mitigasi pencapaian target NDC. Namun, saat ini upaya terbesar yang dilakukan oleh pemerintah berada di sektor kehutanan dan penggunaan lahan atau dikenal dengan Forestry and Other Land Uses (FOLU) dan sektor energi yang masing-masing menghasilkan sekitar 60 persen dan 36 persen emisi. 

Pada sektor FOLU, Indonesia telah berhasil mengendalikan kebakaran lahan dan hutan yang turun hingga 82 persen di tahun 2020. Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove dengan target seluas 600 ribu hektare sampai di 2024, yang merupakan terluas di dunia. Saat ini, Indonesia berambisi menjadikan sektor FOLU sebagai carbon net sink di 2030, sehingga terjadi netralitas karbon di sektor tersebut. 

Sektor ini memiliki nilai ekonomi yang sangat besar jika berhasil dijaga dari kerusakan. Hutan hujan tropis Indonesia merupakan hutan terluas ketiga di dunia seluas 125,9 juta hektar yang bisa menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton. Sedangkan lahan gambut kita terluas di dunia dengan hamparan 7,5 juta hektar dan mampu menyerap emisi karbon 55 miliar ton. 

Bukan itu saja, luas hutan mangrove Indonesia yang mencapai 3,31 juta hektar mampu menyerap sekitar 33 miliar ton emisi karbon. Hal ini merujuk pada perhitungan rata-rata kandungan karbon dari hutan mencapai 200 ton C per hektar, dari mangrove 1.082,6 ton C per hektar, sementara lahan gambut 460 ton C per hektar, dan hutan gambut primer 1385,2 ton C per hektar. 

Melihat besarnya sumbangan yang diberikan sektor FOLU, Silverius Oscar Unggul, WKU Bidang Lingkungan Hidup & Kehutanan KADIN Indonesia mengatakan kebijakan dan insentif untuk mencapai target net-zero harus dirancang untuk mendukung pembangunan ekonomi dan mata pencaharian yang lebih berkelanjutan di sektor tersebut salah satunya melalui inisiatif Regenerative Forest Business Sub Hub (RFBSH). 

“Inisiatif ini berada di bawah payung besar KADIN Net Zero Emissions dan diharapkan bisa menjadi ruang dialog pelaku usaha, pemerintah, dan masyarakat. Inisiatif ini untuk mendukung tata kelola kehutanan sekaligus mitigasi perubahan iklim untuk pembangunan desa hijau yang artinya mengedepankan peran komunitas atau masyarakat sekitar hutan,” jelasnya. 

Mempertahankan hutan yang utuh adalah cara yang paling cepat dan hemat biaya untuk mempertahankan manfaat hutan, termasuk bentuk penyimpanan karbon yang paling tangguh. Pada data Kementerian PPN/Bappenas, secara global, investasi sebesar 4,5 miliar dolar AS per tahun dalam restorasi diproyeksikan akan menciptakan hingga 150.000 lapangan kerja baru dan manfaat ekonomi sebesar 6-12 miliar dolar AS per tahun. 

Dalam skema perhutanan sosial, masyarakat adat tidak hanya dilihat sebatas penerima manfaat kebijakan. Jika didampingi dengan baik, masyarakat dapat mengelola hutan dan menjaga hutan tetap lestari sekaligus mengurangi emisi. Hal ini diungkapkan oleh Program Koordinator Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Emmy Primadona yang sudah mengawal praktik perhutanan sosial di Bujang Raba di Provinsi Jambi dan beberapa daerah di Provinsi Sumatera Barat. 

Emmy mengatakan, keterlibatan masyarakat menjadi penting terutama dalam komitmen skema perhutanan sosial yang terbukti berkontribusi tinggi dalam mereduksi emisi karbon. Perhutanan sosial yang dilakukan sejak 2013 ini juga sudah memiliki sertifikasi dari Plan Vivo, salah satu organisasi pengusul kredit karbon. Pada awal 2018 tercatat total penjualan karbon mencapai 6000 ton. Hasil penjualan kredit karbon ini diputar kembali kepada masyarakat dalam bentuk peningkatan kapasitas, beasiswa pendidikan, insentif perekonomian, patroli, serta pengayaan hutan.

Hal senada juga dikatakan Sakariyas, Bupati Katingan Kalimantan Tengah dan Riza Suarga, Ketua Umum IDCTA yang mengatakan proyek penyerapan emisi karbon melalui sektor FOLU memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat sekitar hutan sekaligus memiliki nilai ekonomi yang besar bagi perekonomian negara melalui NEK yang dihasilkan. 

“Proyek-proyek penyerapan emisi karbon sektor FOLU telah terbukti memberikan kontribusi yang sangat besar bagi masyarakat sekitar hutan. Lebih dari sekadar CSR, namun para pelaku perdagangan kredit karbon yang menjadi anggota kami telah menghadirkan community development bagi masyarakat lokal sekitar proyek. Mulai dari peningkatan kualitas pendidikan melalui pemberian beasiswa maupun improvement sarana prasarana sekolah, pelibatan dokter-dokter muda, empowering local economy dan integrated waste management adalah kegiatan konkrit yang secara terus menerus dilakukan dan diperluas. Kegiatan-kegiatan ini bahkan menjadi kriteria penetapan kualitas impact investment carbon projects dalam skema Climate, Community and Biodiversity,” kata Riza.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Media Digital
Editor : Media Digital
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper