Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia berisiko terkena stagflasi lantaran kenaikan harga barang belum diimbangi oleh pembukaan lapangan kerja.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menuturkan, beberapa sektor berbasis industri manufaktur tengah memperhitungkan dampak resesi di AS, kenaikan biaya pinjaman serta biaya bahan baku impor.
Akibatnya, kapasitas produksi industri berisiko diturunkan dan membuat kesempatan kerja di sektor industri yang berkontribusi terhadap 13 persen porsi tenaga kerja nasional terganggu.
"Indonesia berisiko terkena stagflasi akibat kenaikan harga barang belum di imbangi oleh pembukaan lapangan kerja," kata Bhima kepada Bisnis, Kamis malam (23/6/2022).
Pelaku usaha, kata dia, pastinya akan memprioritaskan untuk merekrut terlebih dahulu tenaga kerja yang sebelumnya dirumahkan atau mengembalikan shift pekerja existing sebelum merekrut pekerja baru.
Pengendalian terhadap beberapa kebutuhan pokok seperti minyak goreng cenderung lambat.
Baca Juga
Bhima mengungkapkan, harga minyak goreng curah hingga saat ini masih berada di atas Rp18.000 per kg, atau belum menyentuh HET (Harga Eceran Tertinggi) meski sejumlah kebijakan terus dilakukan.
Respon dalam menjaga stabilitas harga pangan juga akan mendorong inflasi yang bersumber dari volatile food lebih tinggi pada paruh kedua 2022.
Selain itu, efek dari kenaikan suku bunga Fed Fund Rate dan pelemahan nilai tukar berisiko memicu imported inflation. Akibatnya, biaya bahan baku impor menjadi lebih mahal sehingga mendorong penyesuaian harga di tingkat konsumen.
Di lain sisi, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti menegaskan, ada sejumlah pekerjaan rumah yang perlu ditangani. Namun, ada beberapa poin yang perlu ditangani segera.
"Yang harus diselesaikan dulu adalah dampak pandemi, dampak perang Rusia dan Ukraina serta krisis pangan. Selanjutnya, masalah penguatan sumber daya manusia, investasi, hilirisasi industri, ekspor dan lainnya," ujarnya.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa sebelumnya menyampaikan bahwa risiko stagflasi pada perekonomian Indonesia masih rendah. Ini lantaran pertumbuhan produktivitas belum kembali ke level sebelum pandemi Covid-19.
Bahkan, kata dia, risiko stagflasi Indonesia cenderung lebih rendah dibandingkan negara-negara lain.
"Dari sisi risiko kerentanan kita lumayan. Dan meskipun kita risiko stagflasinya masih rendah di antara negara-negara lain, tapi tetap pertumbuhan produktivitas menjadi perhatian kita untuk mengembalikan ke situasi yang sama-sama kita inginkan," katanya, mengutip Bisnis, Jumat (24/6/2022).
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan bahwa risiko stagflasi meningkat di banyak negara, di mana pertumbuhan ekonomi melambat, sementara tingkat inflasi naik tinggi.
Dia memaparkan kondisi ini disebabkan oleh berlanjutnya ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina, disertai dengan pengenaan sanksi yang lebih luas dan kebijakan zero Covid-19 di China, sehingga menahan perbaikan gangguan rantai pasokan.
Adapun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun sempat menungkapkan dua cara penanganan stagflasi. Pertama, pengendalian inflasi. Langkah ini dilakukan melalui normalisasi moneter bank sentral. Namun, cara ini akan menimbulkan tekanan pada pertumbuhan ekonomi.
Cara kedua yaitu, menjaga pertumbuhan ekonomi. Cara ini berpotensi membuat inflasi tetap tinggi. Alhasil, pemangku kebijakan harus bisa menyeimbangkan dua sisi tersebut. Tentu saja, hal ini cukup dilematis dan tidak mudah.