Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Bonita Kusuma Astuti

Analis Keuangan di Kementerian Keuangan RI

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Belajar dari Taper Tantrum pada 2013

Indonesia ketika itu masuk negara terkena dampak taper tantrum pada 2013 paling berat, terkenal dengan istilah fragile five bersama Brazil, India, Afrika Selatan dan Turki.
Gedung bank central Amerika Serikat atau The Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat, Minggu (19/12/2021). Bloomberg/Samuel Corum
Gedung bank central Amerika Serikat atau The Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat, Minggu (19/12/2021). Bloomberg/Samuel Corum

Pemulihan ekonomi global memasuki babak baru. The Fed menaikkan FFR 75 bps, tertinggi sejak 1994. Naiknya inflasi AS melampaui 8% selama 3 bulan berturut-turut mendorong The Fed segera menaikkan suku bunga dosis tinggi. Langkah The Fed selanjutnya diikuti beberapa bank sentral terkemuka.

Swiss National Bank menaikkan suku bunga kebijakan 50 basis poin, terbesar sejak 15 tahun terakhir. Bank of England juga melakukan kenaikan untuk kelima kalinya berturut-turut. European Central Bank juga berencana menaikkan pada bulan Juli dan September.

Tensi pasar keuangan global pun makin meningkat. Selama 2 minggu di bulan Juni 2022, yield surat-surat berharga terbitan pemerintah di Eropa naik tajam. Mata uang regional Asia juga melemah di kisaran 1%—4%. Yield SBN Indonesia juga naik dari 7,0% menjadi 7,3%. Sementara itu, kurs rupiah Jumat lalu ditutup Rp14.821, melemah 1,65% sejak awal Juni 2022.

Arah pemulihan ekonomi global pascapandemi Covid-19 pun berada di persimpangan. Di satu sisi, aktivitas ekonomi terus meningkat seiring dengan pelonggaran restriksi aktivitas. Di sisi lain, kenaikan suku bunga dan ketidakpastian pasar keuangan yang berkelanjutan berpotensi mengganggu proses pemulihan. Pengambil kebijakan ekonomi baik fiskal dan moneter pun dihadapkan dengan dilema, menjaga stabilitas atau mendorong pertumbuhan ekonomi? Berapa lama proses penyesuaian ini berlangsung?

Sejatinya, normalisasi kebijakan fiskal dan moneter pascakrisis ekonomi dan keuangan global bukan hal baru. Pada Mei 2013, The Fed melakukan kebijakan tapering pembelian surat-surat berharga setelah menggelontorkan stimulus moneter yang masif pada krisis keuangan global 2008. Dampaknya langsung dirasakan, khususnya oleh negara emerging yang mengalami ketidakseimbangan eksternal. Situasi ini dikenal sebagai taper tantrum.

Indonesia ketika itu masuk negara terkena dampak taper tantrum paling berat, terkenal dengan istilah fragile five bersama Brazil, India, Afrika Selatan dan Turki. Terjadi pelarian modal asing secara masif baik dari pasar saham dan pasar modal yang berlanjut pada pelemahan nilai tukar secara tajam.

Defisit transaksi berjalan dan ekspektasi inflasi menjadi masalah terbesar. Fragile five dianggap memiliki keseimbangan eksternal yang buruk. Defisit neraca perdagangan ditambal dengan transaksi modal finansial yang didominasi dari investasi portofolio dari kebijakan quantitative easing The Fed. Sementara itu, devisa hasil ekspor barang komoditas diperkirakan menurun seiring dengan selesainya commodity supercycle.

Menekan defisit transaksi berjalan dan mengelola permintaan domestik menjadi agenda utama kebijakan kala itu. Indonesia menggunakan kombinasi kebijakan fiskal dan moneter dengan mengedepankan stability over growth. Dari sisi fiskal, upaya menjaga defisit fiskal dilakukan melalui kombinasi kebijakan di sisi pengeluaran berupa pengurangan dan realokasi belanja. Di sisi moneter, kebijakan suku bunga dan pengelolaan nilai tukar dikombinasikan guna membawa inflasi kembali ke lintasan sasarannya.

Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter ini diperkuat dengan komunikasi kebijakan yang intensif dan terkoordinasi. Pemerintah dan Bank Indonesia secara rutin menjelaskan kepada investor dan media mengenai esensi kebijakan yang diambil dan secara konsisten menjelaskan perbedaan antara taper tantrum dan krisis moneter Asia 1997—1998.

Meskipun tidak mudah, Indonesia dianggap berhasil melalui taper tantrum dalam waktu yang tidak terlampau lama. Dalam 1 triwulan, defisit transaksi berjalan pun menurun dari 4,4% terhadap PDB (kuartal II/2013) menjadi 2,1% terhadap PDB. Yield SBN 10 tahun menurun dari 8,9% pada September 2013 menjadi 7,8% pada April 2014. Pertumbuhan ekonomi memang menurun dari 6,5% menjadi 5,8%, namun tetap lebih baik dibandingkan negara fragile five lain.

PascaPandemi Covid-19

Kini, semua negara sedang melalui pemulihan ekonomi, tetapi Indonesia memiliki bekal yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi kuartal I/2022 sebesar 5,01% ditunjang oleh kinerja ekspor yang baik dan konsumsi rumah tangga yang cukup kuat. Neraca transaksi berjalan positif sebesar 0,1% PDB pada kuartal I/2022.

Arus investasi portofolio memang sedang berbalik, tetapi investasi langsung justru meningkat. Statistik Neraca Pembayaran Indonesia kuartal I/2022 mencatat arus masuk PMA meningkat US$5,7 miliar didominasi sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor lainnya. Hal ini mengindikasikan kepercayaan investor tetap tinggi dengan prospek jangka panjang Indonesia.

Kinerja APBN juga makin baik searah dengan upaya mencapai defisit 3% pada tahun 2023. Dalam periode Januari—April 2022, realisasi pendapatan dan hibah mencapai 46% dari target. Pertumbuhan penerimaan pajak dan PNBP mencapai masing-masing 49% dan 35%. Belanja pemerintah memang baru terserap 27%, tetapi situasi ini memberikan ruang gerak bagi pemerintah untuk realokasi anggaran yang cepat mendorong stimulus bagi perekonomian.

Proses normalisasi kebijakan moneter juga sedang berjalan. BI telah menaikkan sekaligus mempercepat kenaikan giro wajib minimum secara bertahap sejak awal tahun 2022. Meski melemah, tetapi nilai tukar rupiah termasuk yang terendah dibandingkan negara emerging lainnya.

Studi Chatib Basri (2017) menunjukkan konsistensi dan kredibilitas kebijakan menjadi kunci kinerja Indonesia lebih baik dibandingkan negara fragile five lainnya saat taper tantrum. Bagaimanapun, Indonesia pernah melalui situasi yang lebih sulit. Opsi dan kombinasi kebijakan fiskal-moneter kali ini juga lebih banyak. Kiranya pengambil kebijakan dan investor kembali mengingat sejarah ini.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper