Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) dinilai perlu terus memperluas kerja sama transaksi menggunakan mata uang lokal atau local currency settlement (LCS) dengan negara lain.
Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan upaya meningkatkan penggunaan LCS juga perlu didorong dengan memberikan insentif besar kepada dunia usaha.
Hal ini dilakukan guna menjaga ketahanan nilai tukar rupiah di tengah meningkatnya risiko global, terutama melonjaknya inflasi yang diikuti dengan pengetatan moneter bank sentral negara maju.
“Dalam jangka pendek, perlu ditambah negara mitra LCS dan beri insentif lebih besar bagi pelaku usaha ekspor agar menukar devisa dolar dengan rupiah,” katanya kepada Bisnis, Senin (20/6/2022).
Pada kesempatan berbeda, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan bahwa penggunaan LCS memiliki dampak yang besar, namun sosialisasi yang digaungkan masih sangat minim.
Tercatat transaksi LCS meningkat tiga kali lipat dari transaksi pada 2020, dari US$797 juta menjadi US$2,53 miliar pada 2021. Sementara itu, pada April 2022, BI mencatat transaksi LCS telah mencapai lebih dari US$1 miliar.
Baca Juga
Destry mengatakan, masih dibutuhkan sinergi yang kuat untuk mendorong penggunaan LCS, baik oleh pemerintah, kementerian dan lembaga (K/L), pemerintah daerah, hingga dunia usaha.
Dia menjelaskan, perdagangan internasional Indonesia pada 2021 tercatat mencapai US$421 miliar. Jumlah penanaman modal asing (PMA) pada periode yang sama pun meningkat 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dari transaksi tersebut, sebesar 80-90 persen mata uang yang digunakan adalah dolar AS. Padahal, ekspor Indonesia ke AS hanya 10 persen dari total ekspor dan impor AS ke Indonesia hanya sebesar 5 persen dari total impor. Hal ini menunjukkan ketergantungan terhadap dolar AS dalam bertransaksi sangat tinggi.
“Artinya dominasi yang besar menyebabkan ketergantungan kita jadi sangat tinggi, di sini LCS seharusnya bisa berperan,” kata Destry.