Bisnis.com, JAKARTA – BPJS Watch melihat terdapat tiga isu krusial dan masih harus dikaji terkait penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang segera dilakukan pemerintah pada Juli mendatang.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan setidaknya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan bersama BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), serta asosiasi rumah sakit masih perlu mendalami beberapa hal.
“Hal yang krusial itu iuran, ketersediaan tempat tidur, dan INA CBGs [Indonesia Case Based Groups],” tutur Timboel, Kamis (16/6/2022).
Terkait iuran, saat ini yang berlaku untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) sebesar Rp35.000 per bulan yang telah mendapatkan subsidi Rp7.000 dari pemerintah dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III.
Sebaliknya, besaran iuran peserta PBPU dan BP kelas II sebesar Rp100.000 per orang per bulan dan kelas I sebesar Rp150.000 per orang per bulan.
Dengan adanya kelas standar, artinya ada penyesuaian harga yang untuk peserta kelas I, II, dan III menjadi iuran tunggal.
Baca Juga
Lebih lanjut, Timboel menyoroti kepastian iuran bagi peserta kelas III. Bila nantinya memang berupa iuran tunggal dengan kelas standar bagi seluruh kalangan, akankah iuran kelas III naik?
“Bagaimana kepastian bagi rakyat kelas tiga yang membayar Rp35.000 aja sudah berat apalagi dia naik ke angka yang tinggi, kelas satu dan dua turun gapapa,” ujar Timboel.
Hal terpenting, bila iuran naik, Timboel khawatir masyarakat kelas tersebut akan semakin jauh dari akses jaminan kesehatan.
Persoalan lainnya, menurut Timboel, kesiapan rumah sakit dalam memenuhi kriteria KRIS dikhawatirkan akan menggerus jumlah ketersediaan tempat tidur. Pasalnya satu tempat tidur harus memiliki luas 10 m2, dengan kelas standar yang berisi 4 tempat tidur, artinya satu ruangan harus seluas 40 m2.
“Kalau tempat tidur dikurangi akan menjadi masalah buat peserta, kapasitas akan lebih sedikit, pasien akan dioper-oper,” lanjut Timboel.
Sementara itu, adanya standardisasi kamar akan berujung pada penyesuaian tarif INA CBGs yang diketahui belum berubah sejak 2016.
Tarif INA CBGs adalah cara pembayaran yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit dengan sistem paket yang dibayarkan per episode pelayanan kesehatan, artinya suatu rangkaian perawatan pasien sampai selesai.
“Kalau INA CBGs dihitung ulang dan lebih menarik, rumah sakit yang belum mungkin akan tertarik. Kalau mereka ikut, ketersediaan rumah sakit akan nambah lagi,” kata Timboel.
Sejauh ini, Timboel mengatakan masih ada beberapa rumah sakit yang tidak menggunakan INA CBGs karena tidak memenuhi standar BPJS Kesehatan. Artinya, rumah sakit tidak melayani pasien BPJS karena memiliki target pasien tersendiri. Rendahnya tarif tersebut juga membuat rumah sakit enggan untuk bergabung.
“BPJS Kesehatan dan asosiasi rumah sakit harus bernegosiasi dulu terkait INA CBGs. Hasilnya nanti ditetapkan oleh menteri kesehatan,” ungkap Timboel.
Bagi Timboel, secara keseluruhan, kehadiran KRIS sangat baik karena tidak ada lagi perbedaan kelas bagi peserta BPJS Kesehatan, tetapi penting mengkaji hal-hal tersebut agar peserta mendapatkan manfaat sesuai dengan yang dibayarkan.
Terkait iuran, pihak DJSN mengeklaim pihaknya masih melakukan pengkajian iuran yang menggunakan prinsip asuransi sosial.
Ketua Komisi Kebijakan Umum DJSN Mickael Bobby Hoelman menyampaikan pembiayaan masih terus dikaji dengan mengutamakan prinsip asuransi sosial.
“Terkait kajian pembiayaan masih sedang dikaji,” ujar Mickael, Kamis (16/5/2022).