Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai Indonesia perlu mengurangi ketergantungannya pada impor pangan.
Hal tersebut dilakukan guna mencegah defisit neraca perdagangan sebagai dampak krisis pangan dan energi.
"Yang pertama tentunya harus mengurangi ketergantungan pada impor pangan selama pengganti pangan alternatifnya tersedia di dalam negeri," kata Bhima kepada Bisnis, Rabu (15/6/2022).
Diakui Bhima, beberapa negara tengah mencermati kekhawatiran terjadinya krisis pangan. Oleh karena itu, Bhima menyarankan agar produktivitas, misalnya lahan pertanian di Indonesia harus meningkat. Ini lantaran sepanjang 2021 luasan panen untuk panen mengalami penurunan sebanyak 2 persen.
Dengan begitu, diharapkan cadangan pangan Indonesia terpenuhi sehingga ketergantungan terhadap impor dapat ditekan, terutama beras.
Semua ini tentunya membutuhkan bantuan dari kementerian teknis terkait dan anggaran pemerintah. Misalnya, dengan menambah alokasi subsidi pupuk, memberikan bantuan berupa alat-alat pertanian, serta porsi Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk sektor pertanian diperbesar.
Baca Juga
Jika ada komoditas pangan yang dibutuhkan dan belum ada substitusi dalam jangka waktu singkat, Bhima menyarankan agar pemerintah segera memfasilitasi kontrak jangka panjang bagi produsen seperti gandum, lantaran gandum tak bisa diproduksi di dalam negeri.
Sementara itu, untuk energi, satu-satunya jalan untuk mengantisipasi defisit neraca dagang adalah dengan mempercepat transisi energi baru terbarukan (EBT). Defisit minyak dan gas juga bisa ditekan dengan beralih ke moda transportasi listrik.
Kemudian dari sisi ekspor, menurut Bhima kinerja ekspor dapat ditambah dengan mencari pasar-pasar alternatif yang tak terlalu terdampak dari kenaikan inflasi.
"Jadi kalau AS inflasinya 8 persen harus dicari alternatif pasar lainnya dan ini membutuhkan intelijen pasar yaitu koordinasi dengan kedutaan besar, untuk mencari-cari peluang pasar di negara yang potensial," jelas dia.
Cara lain untuk mencegah defisit neraca dagang adalah dengan melakukan evaluasi terhadap perjanjian perdagangan bebas yang selama ini banyak merugikan kepentingan daya saing Indonesia.
Bhima menuturkan evaluasi harus dilakukan secara hati-hati, terutama dalam membuat perjanjian perdagangan bebas lantaran dampaknya bisa memperlebar gap antara ekspor dan impor.
Terakhir adalah memberikan insentif perpajakan yang tepat sasaran dan efektif. Dengan begitu, peluang untuk melakukan ekspor menjadi lebih besar terutama ekspor untuk barang-barang hasil industri yang bernilai tambah.