Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan terlalu dini memprediksi ekonomi Indonesia akan terkoreksi.
Hal tersebut menanggapi dua lembaga internasional yaitu OECD dan World Bank yang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022. OECD menurunkan estimasi PDB Indonesia dari 5,2 persen menjadi 4,7 persen, sedangkan World Bank menurunkan dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen.
“Melihat dari sampai hari ini tumbuhnya masih bagus, apalagi PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) dilonggarkan. Bulan Juni aja belum selesai, jadi terlampau pagi memprediksi pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi. Kita belum melihat ini. Kalau mau mengkoreksi di kuartal III, kalau II terlalu dini,” ujar Hariyadi kepada Bisnis, Kamis (9/6/2022).
Hariyadi mengatakan kita masih tidak akan tahu apa yang terjadi beberapa bulan ke depan. Menurutnya, bisa jadi China akan membuka lockdown-nya dan perang Rusia dan Ukraina berhenti. Dia juga menyampaikan jika situasi pelaku usaha di Amerika pun kondisinya masih cukup baik.
“Terus ada juga info kalau Amerika akan mengalami resesi, saya tanya ke teman-teman saya di Amerika, ah engga ada tuh. Engga ada tendensi kesana,” ungkapnya merujuk proyeksi Federal Reverse yang mengindikasikan potensi pertumbuhan ekonomi AS negatif dalam dua kuartal berturut-turut.
Berdasarkan pelacak GDP The Fed, GDPNow Fed Atlanta, pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal kedua tahun ini hanya sebesar 0,9 persen. Adapun, pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama telah turun sebesar 1,5 persen.
Baca Juga
Menurut Presiden Direktur PT Hotel Sahid Jaya International Tbk. itu, Indonesia yang masih lebih baik dari AS pertumbuhan ekonominya yaitu di kisaran 5 persen, diuntungkan juga dengan komoditas Indonesia melonjak di pasar global. Meskipun tetap masih dibayang-bayangi inflasi yang tinggi.
“Tapi inflasi menurut saya masih di bawah 5 persen. Terlebih lagi pemerintah mulai menambah subsidi BBM dan LPG pada tahun 2022 yang semula dianggarkan hanya Rp77,5 triliun dan Kompensasi BBM Rp18,5 triliun, menjadi penambahan subsidi Rp71,8 triliun dan kompensasi BBM Rp234 triliun atau menjadi Rp401,8 triliun pada tahun 2022 (asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) US$ 100/barrel)," ujarnya
Hanya saja, kata Haryadi, yang perlu diketahui Windfall dari komoditi yang tinggi itu di pasar global itu dialokasikan ke subsidi. Selain subsidi, pemerintah juga harus terus mengondusifkan iklim usaha agar tercipta lapangan kerja.
“Jika lapangan kerja naik terus, beban konsumsi masyarakat juga berkurang,” imbuhnya.