Bisnis.com, JAKARTA- Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai Indonesia perlu melakukan sinkronisasi demi mengatasi dilema antara investasi di sektor petrokimia dan upaya untuk mendukung industri ramah lingkungan.
Di satu sisi, saat ini ada investasi mencapai US$36 miliar yang digunakan untuk membangun fasilitas produksi bahan baku plastik.
Sebaliknya, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi konsumsi produk-produk yang dipandang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, salah satunya plastik dari industri petrokimia.
"Dibutuhkan sinkronisasi dan konsolidasi untuk menyeimbangkan antara investasi dan roadmap negara untuk mengurangi produk yang punya dampak buruk terhadap lingkungan," kata Fithra ketika dihubungi, Rabu (8/6/2022).
Plastik, ujarnya, merupakan produk yang cenderung sudah mulai ditinggalkan, baik dalam konteks nasional maupun global akibat dampak negatifnya terhadap lingkungan.
Apabila Indonesia tidak menemukan pola yang sinkron di industri petrokimia, jelasnya, hal itu dinilai akan menjadi perhatian negara mitra Tanah Air dan tidak menutup kemungkinan justru akan memberikan dampak negatif.
Baca Juga
Diberitakan sebelumnya, Indonesia berpotensi kebanjiran bahan baku plastik dari UEA. Sebab, rencana penurunan bea masuk komoditas itu ke RI diprediksi bisa mendongkrak impor bahan baku plastik dari UEA sekitar 50 persen.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan Indonesia saat ini mengimpor bahan baku plastik jenis polyethylene dan polipropilena dari UEA sebanyak 17.000 ton per bulan.
Kedua jenis bahan baku plastik itu, polyethylene dan polipropilena, disebut menjadi 2 pos tarif yang diincar UEA dalam perundingan Indonesia - UEA Comprehensive Economic Partnership Agreement/IUEA - CEPA.
"Dengan murahnya bea masuk bahan baku plastik serta harga jual yang sama, mereka bisa meningkatkan volume ekspor dari 17.000 ton menjadi 25.000 ton per bulan," ujar Fajar.
Menurutnya, polyethylene dan polipropilena merupakan 2 jenis bahan baku plastik dengan porsi konsumsi terbesar di Tanah Air, yakni sekitar 3 juta ton per tahun. Total konsumsi bahan baku plastik nasional sekitar 7 juta ton per tahun.
Untuk polyethylene, kebutuhan konsumsi di Indonesia sebesar 1,4 juta ton per tahun dengan kemampuan produksi tahunan sebanyak 1,05 juta ton.
Sementara itu, kebutuhan konsumsi polipropilena di Indonesia mencapai 1,6 juta per tahun dengan jumlah produksi tahunan sebanyak 870.000 ton.
Dengan asumsi bahwa penurunan bea masuk akan menambah impor bahan baku plastik jenis polyethylene dan polipropilena dari UEA, maka industri petrokimia dalam negeri akan banjir oleh sekitar 300.000 ton kedua komoditas dari UEA itu setiap tahunnya.
Belum lama ini, Indonesia dan UEA melaksanakan perundingan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Emirat Arab (IUAE-CEPA). UEA berencana mengajukan opsi penurunan bea masuk untuk bahan baku plastik.