Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Proteksionisme Berpotensi Perpanjang Bencana Pangan Global

Alih-alih menangkal, proteksionisme justru dipandang sejumlah pakar berpotensi memperpanjang ancaman bencana pasokan global.
Petani menanam bawang. Food Estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi di suatu kawasan. Food estate juga dapat menjadi lahan produksi pangan nasional, cadangan pangan, dan distribusi pangan. /Antara
Petani menanam bawang. Food Estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi di suatu kawasan. Food estate juga dapat menjadi lahan produksi pangan nasional, cadangan pangan, dan distribusi pangan. /Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Keamanan pasokan pangan global mulai teruji setelah sejumlah negara di Asia menutup keran ekspornya di tengah harga barang yang sudah terserang inflasi.

Pekan lalu, Kementerian Pangan India mengumumkan bahwa negara itu akan membatasi ekspor gula hingga 10 juta ton pada tahun fiskal yang berlangsung hingga September. Selain untuk menjaga ketersediaan pasokan dalam negeri, hal ini dilakukan untuk menjaga kepentingan konsumen sehingga harga tetap terkendali.

India menjadi eksportir gula terbesar di dunia setelah Brasil pada tahun lalu. Pelanggan utamanya kebanyakan berasal dari Bangladesh, Indonesia, Malaysia dan Dubai.

Ekspor gula tahun lalu mencapai rekor hingga 7,2 juta ton, lebih tinggi dari biasanya tidak lebih dari 7 juta ton. Pabrik gula cenderung mengandalkan subsidi pemerintah untuk mendorong ekspor.

Namun, harga global yang telah melonjak hampir 20 persen pada tahun lalu memaksa India menambah pengiriman tanpa subsidi. Ada ekspektasi untuk ekspor berkisar antara 9 juta dan 11 juta ton pada musim ini.

Di sisi lain, eksportir lain seperti Thailand dan Brasil berpotensi mendapat keuntungan, tetapi akan berdampak pada kenaikan harga pangan global.

Harga saham Shree Renuka Sugars yang dimiliki grup Wilmar turun lebih dari 8 persen sejak langkah itu diumumkan sementara Cofco Sugar Holding China dan Khon Kaen Sugar Industry Pcl dari Thailand menunjukkan peningkatan sekitar 1 persen masing-masing.

“Pemerintah sudah memberlakukan pembatasan ekspor gandum; ini tinggal masalah waktu untuk mempertimbangkan pembatasan ekspor beras ,” kata ekonom Yes Bank Ltd. Radhika Piplani, dilansir Bloomberg pada Jumat (27/5/2022).

Kejutan tersebut diumumkan menyusul sikap proteksionisme terhadap larangan ekspor gandum sebelumnya akibat gelombang panas yang merusak panen.

Harga acuan berjangka gandum melonjak sekitar 50 persen pada tahun ini akibat invasi Rusia ke Ukraina dan cuaca ekstrem.

Hal itu mengerek trader bumbu pangan Australia GrainCorp Ltd., sebesar 17 persen, tetapi mendorong penurunan 15 persen pada indeks acuan ekuitas global MSCI.

Sementara itu, perusahaan yang menggunakan gandum sebagai bahan seperti pembuat mie Jepang Nissin Foods Holdings Co. dan produsen roti dan biskuit India Britannia Industries Ltd. mulai rentan.

Wakil Kepala Riset Global Asia HSBC Holdings Plc., Frederic Neumann mengatakan produsen di negara yang tidak menerapkan pembatasan ekspor mendapatkan kekuatan harga di pasar global.

“Produsen pertanian dari ekonomi maju seperti Australia, Kanada, atau AS cenderung tidak menghadapi pembatasan ekspor langsung, memberi mereka keunggulan dibandingkan pesaing dari pasar yang lebih mengintervensi," ungkap Neumann.

Invasi Rusia ke Ukraina dan lockdown di China menjadi krisis ganda yang menyentak dunia yang sedang dalam masa pemulihan.

Hal itu ditambah dengan inflasi yang memburuk dan melukai pertumbuhan, menurut penelitian baru dari Bloomberg Economics.

Sebelumnya, Kepala Analis Komoditas Fitch Solutions Sabrin Chowdhury mengatakan terdapat sekitar 30 negara yang telah menerapkan larangan ekspor pangan sejak perang di Ukraina pecah.

Menurutnya, tingkat proteksionisme pangan mencapai yang tertinggi sejak krisis harga pangan pada 2007 dan 2008.

“Proteksionisme pasti akan berlanjut pada 2022 dan meningkat dalam beberapa bulan mendatang, memperburuk risiko keamanan pangan bagi yang paling rentan di dunia,” katanya.

Acuan harga pangan dari PBB telah melonjak lebih dari 70 persen sejak pertengahan 2020.

Sikap proteksionisme pangan ini akan menekan harga semakin tinggi, memukul daya beli, dan menantang bank sentral untuk menghindari inflasi sambil tetap berupaya mempertahankan pertumbuhan.

Peneliti senior Centre for Global Food and Resources di University of Adelaide David Adamson mengatakan larangan ekspor tidak hanya buruk bagi negara importir.

Mereka juga memaksa petani di negara-negara produsen untuk berhenti mengambil keuntungan dari harga internasional yang tinggi.

"Proteksionisme adalah hal terburuk untuk dilakukan bagi keamanan pangan karena itu menghalangi pasar untuk bekerja dengan mulus," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper