Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia Property Expo (IPEX) 2022 yang tengah digelar di Jakarta membangkitkan harapan pemulihan bisnis properti khususnya perumahan setelah selama 3 bulan pertama tahun ini jeblok.
Data Indonesia Property Watch (IPW) menunjukkan bahwa harga rumah di Jakarta selama kuartal I tahun ini merosot sekitar 18%, mirip-mirip dengan yang dialami harga perumahan di Kota Serang, Provinsi Banten, yang melorot hingga sekitar 19%.
Namun, dengan kembalinya gelaran pameran perumahan, diharapkan bisnis properti residensial segera bangkit kembali. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, ada pelaku bisnis properti yang optimistis bahwa harga rumah di Jakarta bakal melonjak hingga sebesar 60% pada tahun ini.
Seiring dengan kenaikan bahan material di pasar global, Dewan Pengurus Daerah Real Estate Indonesia (DPD REI) DKI Jakarta memperkirakan harga rumah komersial akan mengalami lonjakan.
Ulasan tentang bisnis properti residensial pada tahun ini menjadi salah satu pilihan Bisnisindonesia.id, selain beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik tersaji dari meja redaksi Bisnisindonesia.id.
Berikut intisari dari top 5 News Bisnisindonesia.id yang menjadi pilihan editor, Jumat (20/5/2022):
1. Pemerintah Berbagi Beban Negara Lewat Kenaikan Tarif Listrik
Pemerintah kembali melemparkan wacana kenaikan tarif listrik sebagai upaya untuk mengurangi beban subsidi dan kompensasi yang harus dibayarkan negara kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Rencana kenaikan tarif listrik yang nantinya menyasar kelompok pelanggan di atas 3.000 volt ampere (VA) tersebut, dikatakan juga sebagai langkah pemerintah untuk berbagi beban antara kelompok rumah tangga mampu, badan usaha, dan pemerintah.
Dengan demikian, dampak kenaikan harga minyak mentah Indonesia atau ICP terhadap penyediaan energi nasional tidak semuanya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, berbeda dengan wacana sebelumnya, yakni pada pertengahan Januari lalu disebutkan bahwa pemerintah akan melakukan penyesuaian tarif dasar listrik (TDL) terhadap 13 golongan pelanggan nonsubsidi, kali ini pemerintah dengan jelas menyatakan bahwa kenaikan tarif listrik itu menyasar pelanggan 3.000 VA ke atas.
2. Harga Rumah 2022 Naik atau Stabil, Hasil Pertempuran PPN vs PPN
Dengan kembalinya gelaran pameran perumahan Indonesia Property Expo (IPEX) 2022, muncul optimisme besar bahwa harga perumahan nonsubsidi tahun ini akan naik. Bahkan, untuk di DKI Jakarta, ada yang menyebutkan kenaikannya berpotensi mencapai 60%.
Meski begitu, ada pula yang memprediksi harga rumah akan stabil. Peran PPN agaknya bakal menentukan kenaikan harga rumah.
Suara optimistis mengenai kenaikan harga rumah hingga 60% di satu sisi dan suara bahwa harga rumah bakal stabil di sisi lain sebenarnya merupakan ekspresi dari “pertempuran” PPN vs PPN.
Di satu sisi, pemerintah masih memberlakukan stimulus Pajak Pertambahan Nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk hunian tapak maupun vertikal hingga akhir September tahun ini, tetapi selepas itu, ketika insentif fiskal untuk properti itu dihapuskan, PPN dengan besaran baru yakni 11% berlaku.
Selama stimulus tersebut diberlakukan sejak 1 Maret tahun lalu, telah terbukti bahwa dampaknya ke bisnis perumahan sangat signifikan. Bahkan, dalam saat “genting” pada akhir tahun lalu belum adanya kepastian bahwa insentif itu dilanjutkan, justru penjualan kalangan developer perumahan melesat cepat demi memburu stimulus tersebut.
3. Daya Tarik Pasar Saham Indonesia Belum Pudar
Sejumlah analis meyakini pasar saham Indonesia masih memiliki daya tarik yang sangat kuat hingga akhir tahun ini, meski pekan lalu mengalami kejatuhan yang cukup tajam.
Secara fundamental, pasar Indonesia ditopang oleh kinerja emiten yang ciamik. Tekanan pun lebih banyak akibat faktor global ketimbang internal.
Sepanjang pekan kedua Mei 2022, atau tepat setelah berakhirnya libur Lebaran, pasar saham dalam negeri memang mengalami penurunan tajam sebagai imbas dari kebijakan pengetatan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, the Fed.
The Fed menaikkan suku bunganya sebesar 50 bps menjadi 0,75 persen hingga 1,00 persen, langkah yang tidak pernah ditempuh dalam 22 tahun terakhir. Biasanya, kenaikan suku bunga acuan the Fed maksimal hanya 25 bps. Kenaikan 50 bps tentu memberikan sinyal yang sangat kuat terhadap gentingnya kondisi di AS.
Akumulasi respons terhadap kebijakan tersebut bertumpuk di pekan kedua Mei 2022. Tingkat return dan rekor yang sempat dicapai IHSG pun terhapus dalam sekejap. Namun, pada pekan ini atau pekan ketiga Mei 2022, pasar saham dalam negeri sudah kembali bertaji.
4. Pil Pahit yang Sulit Ditelan Meski Subsidi BBM Kian Meradang
Kekhawatiran akan terjadinya pembengkakan subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM) akibat kenaikan harga minyak mentah dunia akhirnya tak dapat dihindarkan. Apalagi, tren peningkatan konsumsi BBM di dalam negeri tidak sejalan dengan penambahan produksi minyak nasional.
Meskipun sebenarnya ada opsi penyesuaian harga BBM yang dinilai bisa membantu mengurangi beban subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi pemerintah sepertinya masih enggan mengambil opsi tersebut.
Namun, daripada harus menelan ‘pil pahit’ dengan melakukan penyesuaian harga BBM, pemerintah lebih memilih untuk menambah belanja APBN.
Selama ini, pemberian subsidi energi, terutama untuk BBM, LPG, dan listrik dinilai cukup ampuh meredam inflasi, pengangguran, hingga kemiskinan. Namun, jika tidak dikendalikan dengan penyesuaian harga, dapat dipastikan subsidi energi pada tahun ini bakal meroket seiring dengan kenaikan harga minyak global.
5. Tantangan Berat Bank Asal Indonesia Merambah Pasar Luar Negeri
Langkah bank-bank asal Indonesia untuk memperluas jangkauan pasarnya ke luar negeri bukanlah hal yang mudah. Industri perbankan Indonesia masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang perlu diberesi. Kendati demikian, ekspansi tetap harus dimulai.
Peluang perbankan dalam meraup pasar di luar negeri dinilai masih relatif kecil. Operasional perbankan dalam negeri masih tinggi dibandingkan dengan bank-bank asing, yang membuat mereka sulit memasang bunga yang kompetitif.
Selain itu, tantangan kesiapan sumber daya manusia (SDM) di industri perbankan domestik juga masih terbagas untuk menjangkau pasar luar negeri. Karakter pasar perbankan di luar negeri tentu jauh berbeda dan lebih kompleks dibanding pasar dalam negeri. Ada banyak hal yang harus dipelajari.
Namun, dengan semua tantangan yang ada, tidak berarti bahwa pelaku industri perbankan di dalam negeri tidak dapat menjangkau pasar luar negeri dan mencoba peruntungannya dalam menjaring laba.
Perbankan Indonesia patut mulai memperbesar pasarnya ke luar negeri untuk menambah sumber pertumbuhan baru. Namun, peluang pasar perbankan Indonesia di luar negeri memang dinilai tidak besar, khususnya perihal penyaluran kredit.
Perbankan Tanah Air, dikenal tidak efisien dengan suku bunga yang tinggi, sedangkan suku bunga kredit di luar negeri sangat rendah. Menyalurkan kredit atau penempatan dana di surat berharga negara (SBN) dan instrumen moneter masih jauh lebih menarik bagi perbankan nasional.