Bisnis.com, JAKARTA — PT Bahana Sekuritas menilai bahwa kinerja neraca perdagangan April 2022 dengan surplus hingga US$7,56 miliar merupakan anomali positif dari tren yang biasa terjadi saat hari raya Idulfitri. Akan tetapi surplus yang mencapai rekor itu menyimpan risiko bagi kinerja bulan-bulan setelahnya.
Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro, Rami Ramdana dan Drewya Cinantyan menilai bahwa secara historis neraca perdagangan terus mencatatkan surplus pada masa Idulfitri selama tujuh tahun terakhir. Hal tersebut membuat capaian surplus pada April 2022 menjadi tidak mengejutkan.
Kinerja ekspor maupun impor cenderung menurun pada masa Idul Fitri dari posisi bulan sebelumnya, lalu kembali meningkat pada bulan selanjutnya. Menurut Satria, Rami, dan Drewya, hari kerja pada bulan Ramadan dan hari raya Idulfitri cenderung lebih sedikit sehingga aktivitas manufaktur menjadi lebih rendah, sehingga ekspor dan impor terpengaruh.
Meskipun begitu, kinerja ekspor pada April 2022, ketika terdapat hari raya Idulfitri justru tidak turun secara bulanan. Bahana Sekuritas menilai hal tersebut sebagai anomali yang mendorong kinerja surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai rekor tertingginya.
"Ini adalah pertama kalinya ekspor tidak turun secara bulanan selama Idulfitri [US&26,5 miliar pada Maret dan US$27,3 miliar pada April], berdasarkan penelusuran kembali hingga 2008. Ini berarti sebagian besar ekspor komoditas Indonesia mungkin telah dimajukan ke bulan lalu [April]," tulis ketiganya dalam riset Bahana Sekuritas, dikutip pada Selasa (17/5/2022).
Ketiganya menilai bahwa surplus neraca perdagangan karena percepatan ekspor pada April 2022 mungkin akan mengorbankan kinerja pada dua hingga tiga bulan selanjutnya. Tekanan itu dapat muncul karena nilai ekspor yang berpotensi berkurang dan impor yang mungkin naik.
Bahana Sekuritas menilai bahwa surplus neraca perdagangan baru-baru ini menunjukkan Indonesia mampu menjaga kinerja positif meskipun terdapat larangan ekspor crude palm oil (CPO). Komoditas andalan Indonesia dan produk-produk turunannya itu menyumbang US$2,5 triliun hingga US$3 triliun terhadap ekspor bulanan Indonesia, sehingga larangan cukup memengaruhi kinerja ekspor nasional.
"Kami memperkirakan surplus yang tipis antara US$400miliar—US$800 miliar jika larangan ekspor masih berlaku," tulis ketiganya.
CPO, batubara, dan nikel atau stainless steel marupakan tiga pilar komoditas yang menopang neraca perdagangan Indonesia. Bahana menilai bahwa Indonesia masih bisa bertahan tanpa satu komoditas selama dua lainnya tidak terganggu, misalnya ketika larangan ekspor batu bara berlaku pada Januari dan CPO saat ini.
Adapun, ketika rupiah mendekati ambang psikologis 15.000 per US dolar, mata uang Indonesia bertahan cukup baik terhadap kenaikan tajam indeks dolar. Bahana memandang bahwa kondisi rupiah cukup baik secara regional.
"Kami mempertahankan pandangan kami tentang penahanan BI rate bulan ini, karena BI kemungkinan akan mempertahankan status quo sampai ada kejelasan dari pemerintah tentang [kenaikan harga] pertalite dan tarif listrik, baik waktu maupun besarnya," tulis ketiganya.