Bisnis.com, JAKARTA - Para produsen mobil Jepang mulai mengukur ulang proyeksi laba akibat melemahnya nilai tukar yen terhadap dolar US.
Dilansir Bloomberg, Minggu (16/5/2022), nilai tukar yen anjlok sekitar 11 persen dibandingkan dengan dolar AS sejak awal tahun ini. Pelemahan ini memukul para produsen terutama untuk bahan baku impor. Pelemahan nilai tukar juga beriringan dengan kemacetan rantai pasok yang akhirnya juga mengerek biaya bahan baku.
Pelemahan yen ini ditenggarai disebabkan invasi Rusia ke Ukraina serta lockdown di China.
Penurunan proyeksi laba itu misalnya disampaikan oleh Honda Motor Co. Perusahaan memperkirakan keuntungan tahunan pada 2023 mendatang 'hanya' berkisar 810 miliar yen atau US$6,3 miliar. Jauh lebih rendah dari estimasi para analis senilai 943 miliar yen atau US$7,3 miliar.
Adapun realisasi profit tahun fiskal yang baru saja berakhir mencapai 871 miliar yen atau US$6,7 miliar.
Direktur Pelaksana Honda Yasuhide Mizuno mengatakan melandainya prospek profit disebabkan oleh lockdown di Shanghai hingga akhir Mei 2022 ini.
Baca Juga
Menurut analis Carnorama Takeshi Miyao, kerusakan yang terjadi pada rantai pasokan lebih gawat daripada jatuhnya yen. “Permintaan dan pasokan kehilangan keseimbangan [karena Covid dan perang Rusia-Ukraina]" ungkapnya dilansir Bloomberg pada Jumat (13/5/2022).
Sebelumnya, Toyota Motor Corp., memprediksi penurunan laba hingga 20 persen untuk tahun fiskal 2023 setelah adanya lonjakan biaya logistik dan bahan baku yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Nissan Motor Co. juga mengumumkan proyeksi laba yang lebih tipis daripada rata-rata proyeksi. Sementara itu, Mitsubishi Motors Corp., Mazda Motor Corp., dan Subaru Corp., masih optimistis dengan proyeksi yang lebih besar daripada analis.
“Kami tidak bisa hanya mengatakan bahwa yen yang lebih lemah itu bagus [meskipun itu telah membantu Honda menghasilkan keuntungan]" ujar Wakil Presiden Eksekutif Honda Kohei Takeuchi.
Panasnya inflasi di AS dan perang Rusia memukul ekonomi, dan itulah mengapa yen jatuh, tambahnya.
“Untuk sebuah perusahaan, sulit untuk menghadapi volatilitas mata uang yang besar. Kami ingin melihat pergerakan yang stabil dalam jangka panjang"