Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah telah menikmati kenaikan penerimaan akibat tingginya harga komoditas. Kondisi ini tergambar dari kondisi APBN yang mengalami surplus.
Namun, di sisi lain, belanja belum banyak terealisasi seiring dengan kuartal II/2022 yang baru dimulai. Pemerintah perlu mencermati risiko keuangan negara jika belanja mulai meningkat dan harga komoditas berangsur turun.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha M. Rachbini menjelaskan bahwa Indonesia sebenarnya mendapatkan berkah dari tingginya harga komoditas global. Ekspor batu bara dan crude palm oil (CPO) memberikan pendapatan yang tinggi bagi Indonesia.
Tak heran jika pada Maret 2022, di tengah kondisi ekonomi global yang tidak pasti, Indonesia tetap mencatatkan surplus APBN Rp10,3 triliun atau 0,06 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, Eisha menilai bahwa pemerintah harus berhati-hati karena hingga Maret belum terdapat realisasi belanja yang tinggi, meskipun penerimaan sudah meningkat.
"Memang pada Maret ini kita lihat bahwa kita mengalami surplus APBN, cuma memang kalau dilihat kenapa surplus pertama ya tadi windfall dari kenaikan harga komoditas. Namun, di sisi pengeluaran pada awal tahun memang kita belum banyak mengeluarkan, seperti belanja kementerian dan lembaga," ujar Eisha dalam diskusi publik bertajuk Masa Depan APBN & Warisan Utang Jokowi, Minggu (24/4/2022).
Penyaluran subsidi pun masih berpotensi meningkat, karena respons dari kenaikan berbagai harga akan terlihat pada April 2022. Sejumlah barang dan komoditas mengalami kenaikan harga, baik karena faktor ekonomi global seperti terhadap bahan bakar minyak (BBM), maupun barang-barang tertentu yang terpengaruh kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN).
Baca Juga
Eisha menilai bahwa kemungkinan besar pengeluaran untuk subsidi dan keperluan lainnya akan terus meningkat mulai April 2022. Pemerintah perlu mewaspadai kondisi tersebut, terlebih jika ternyata harga komoditas mengalami perlambatan yang menyebabkan penerimaan terkoreksi.
"Ini bisa memberikan risiko terhadap APBN. Memang kondisinya menantang, sulit untuk ke depannya," ujar Eisha.