Bisnis.com, JAKARTA — Pakar Kebijakan Publik dan Ketua Pusat Studi Ekonomi Politik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai bahwa pemerintah memiliki ruang fiskal yang cukup karena windfall kenaikan harga komoditas. Oleh karena itu, harga BBM, LPG, dan listrik tidak mengalami kenaikan di tengah inflasi harga energi global akibat kondisi geopolitik global.
Achmad menjelaskan bahwa konflik Rusia dan Ukraina mendorong harga batu bara dan minyak sawit sepanjang 2022. Hal itu membuat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari ekspor kedua komoditas meningkat tajam, sehingga terjadi windfall.
Dia memperkirakan bahwa windfall PNBP dari kedua komoditas tersebut mencapai Rp144—200 triliun pada tahun ini. Realisasinya bergantung kepada seberapa besar kenaikan harga minyak dari asumsi APBN, yakni US$63/barrel.
Dia menilai bahwa dana Rp144—200 triliun itu cukup untuk mempertahankan harga pertalite dan solar di level saat ini, yaitu Rp7.650 dan Rp5.150. Bahkan, dana sebesar itu cukup untuk menjaga harga berbagai komoditas lainnya.
“Dana tersebut cukup menutupi seluruh subsidi energi yang meliputi bahan bakar minyak [BBM], listik, dan liquid petroleum gas [LPG] 3 kilogram yang dianggarkan tahun 2022 sebesar Rp134,03 triliun,” ujar Achmad pada Rabu (13/4/2022).
Menurutnya, harga LPG 3 kilogram dan listrik semestinya tidak naik sepanjang 2022 karena anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun ini memiliki ruang fiskal yang cukup. Kondisinya akan berbeda jika PNBP diprioritskan untuk pembayaran utang.
Baca Juga
“Bila hal tersebut ditempuh maka pemerintah akan tetap ngotot menaikan Pertalite, listrik, dan LPG 3 kilogram pada tahun 2022. Ini sama artinya pemerintah salah prioritas, bukannya rakyat menikmati windfall profit dari kekayaan negerinya malah yang menikmati negara debitur,” katanya.
Achmad memahami bahwa negara memang harus membayar bunga utang dan cicilannya, tetapi menurutnya otorita ekonomi harus memperlihatkan dengan baik kecerdasannya dalam menempatkan alokasi anggaran.
“Tim ekonomi saat ini harus pandai mengatakan kepada debitur bahwa Indonesia tetap komitmen pada pembayaran utang, tetapi prioritas di era kenaikan harga saat ini, kepentingan domestik menjadi perhatian pertama,” ujar Achmad.