Bisnis.com, JAKARTA – Pemberlakuan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen diarahkan untuk menghadirkan rezim pajak yang adil dan kuat. Hal itu ditungkapkan Didik Yandiawan, Penyuluh Pajak di KPP Madya Jakarta Timur, terhadap ramainya perbincangan publik ihwal pemberlakuan tarif PPN mulai 1 April 2022 yang merupakan salah satu amanat dalam Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Di tengah gejolak kenaikan harga, wacana mengenai perlu atau tidaknya penerapan tarif PPN 11 persen mengemuka. Sejumlah pihak mengkhawatirkan kenaikan tarif PPN dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
Didik mengatakan ada hal yang luput dari pembahasan publik tersebut yakni UU HPP mengatur bahwa ada sejumlah barang dan/atau jasa yang pajak terutangnya tidak dipungut sebagian atau seluruhnya.
“Bahkan dapat dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya melalui beleid turunan,” ungkapnya.
Menurut Didik, Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya telah mengatakan bahwa penerapan kebijakan tersebut selaras dengan upaya pemerintah dalam mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional, antara lain mencakup barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan lain-lain.
Untuk memacu ekspor, tarif PPN 0 persen bahkan diterapkan pada ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak masih berlaku. Di samping itu, kemudahan dalam pemungutan PPN juga akan diberikan kepada jenis barang atau jasa tertentu atau sektor usaha tertentu melalui penerapan tarif PPN final, misalnya satu persen, dua persen, atau tiga persen, dari peredaran usaha.
"Oleh karena itu, sebuah rezim pajak yang kuat adalah untuk menjaga Indonesia, bukan untuk menyusahkan rakyat," kata Didik mengutip Menkeu Sri Mulyani.
Pemerintah sebelumnya juga telah menegaskan bahwa kenaikan tarif PPN bertujuan menghadirkan rezim pajak yang adil dan kuat. Penyehatan APBN menjadi fokus utama pemerintah demi mengembalikan defisit APBN ke level tiga persen pada tahun 2023.
Apalagi, Didik mengatakan Menkeu Sri Mulyani sebelumnya telah menginformasikan bahwa kenaikan tarif PPN Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan negara lain. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh posisi Indonesia dan sejumlah negara lainnya yang masih berkutat dalam pemulihan ekonomi pascapandemi.
"Kalau kita lihat, dibandingkan banyak negara-negara di G20, (maupun) di OECD, maka kita melihat bahwa PPN rata-rata di negara tersebut sekitar 15 persen, 15,5 persen bahkan," jelas Menkeu Sri Mulyani, pada Maret 2022 lalu.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani optimistis pemerintah sudah memiliki hitungan tersendiri untuk menjaga inflasi juga meningkatkan daya beli ketika tarif PPN 11 persen berlaku.
Didik pun menyampaikan kembali bahwa UU HPP disusun dengan menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pembangunan sosial. Di samping itu, UU HPP hadir untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian.
“Strategi konsolidasi fiskal sangatlah diperlukan. Sebuah strategi yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak, antara lain dilakukan melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak,” pungkasnya.