Bisnis.com, JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi di kuartal II/2022 diperkirakan akan lebih rendah dari kuartal II/2021 yang kala itu tumbuh 7 persen.
Meskipun ada peluang lebih rendah dari kuartal II/2021, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyampaikan peluang untuk tetap tumbuh di level positif dan lebih tinggi daripada kuartal I/2022 cukup besar.
Setidaknya, kata Yusuf, ada dua sisi dinamika yang akan memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi di kuartal II/2022.
Pertama, semakin terkendalinya kasus Covid-19 mendorong kelompok masyarakat terutama kelas menengah ke atas untuk lebih leluasa dalam melakukan konsumsi.
"Kita tahu sendiri proporsi kelompok ini di dalam total konsumsi di dalam negeri kan cukup besar. Sehingga kalau seandainya kelompok ini lebih leluasa dalam melakukan konsumsi maka saya kira itu kan linear dengan upaya atau prospek pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kuartal kedua nanti," katanya kepada Bisnis, Senin (4/4/2022).
Kedua, jika melihat kebijakan pemerintah dalam melonggarkan aturan perjalanan saat Lebaran yang akan datang, akan mendorong mudik yang secara historis berdampak positif terhadap beragam hal termasuk didalamnya terkait perputaran uang dan juga lapangan usaha tertentu seperti di sektor transportasi, akomodasi, serta makanan dan minuman.
Baca Juga
Kendati demikian, ada satu faktor yang sedikit menekan pertumbuhan ekonomi di kuartal II/2022 yaitu inflasi. Inflasi sendiri, kata Yusuf, memiliki dipicu oleh dua faktor.
Pertama, disebabkan dari dalam negeri karena beragam kebijakan pemerintah seperti kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen, naiknya harga Pertamax dan lainnya, yang dapat menekan daya beli terutama masyarakat menengah kebawah.
Faktor kedua, dipengaruhi oleh harga global. Artinya, faktor global imported inflation yang umumnya dapat dilihat dari harga-harga pangan seperti CPO, daging dan harga pangan lainnya berpotensi juga akan ikut memengaruhi angka inflasi utama di dalam negeri.
"Kalau angka inflasi misalnya melonjak sangat tinggi sementara daya beli terutama untuk kelompok menengah ke bawah itu tidak terkompensasi dengan misalnya bantuan pemerintah, ini saya kira merupakan hal yang perlu diwaspadai pemerintah dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi terutama di kuartal II/2022," ujarnya.