Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah didorong untuk merevisi Undang-Undang (UU) No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), guna mengakomodasi pemberian sanksi atau hukuman kepada pemilik barang yang ikut serta melanggar ketentuan pengangkutan barang. Salah satunya terkait dengan praktik muatan gendong.
Adapun, muatan gendong merupakan praktik yang sudah lama berlangsung dalam sistem penyelenggaraan angkutan barang di Indonesia, di mana ada titipan tambahan tonase muatan hasil kolusi antara pengemudi dan pemilik barang, tanpa sepengetahuan pemilik truk.
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai revisi UU No.22/2009 perlu dilakukan agar pemilik barang yang nakal bersekongkol dengan pengemudi truk bisa ikut dijerat pasal, apabila terbukti melanggar. Dalam hal ini, pelanggaran yang dimaksud yakni memalsukan manifes muatan barang.
"Perlu adanya perubahan atau merevisi Undang-Undang No. 22/2009 tentang LLAJ yang dapat menjerat Pemilik Barang, jika memang dia terbukti yang memalsukan Manifest Muatan Barang," kata Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Djoko Setijowarno dalam keterangan resmi, dikutip Senin (14/3/2022).
Sebelum langkah revisi undang-undang, Djoko menegaskan pentingnya peran manifes muatan barang untuk menindak jika adanya tindakan muatan gendong. Menurut Djoko, para pengusaha truk sangat berharap adanya manifes muatan batang agar dijadikan patokan dan data angkutan barang oleh Kemenhub.
Isi dari manifes muatan barang, lanjut Djoko, yakni informasi dari jenis muatan barang, jumlah colly barang, dan jumlah berat barang. Selain itu, manifes muatan barang sekaligus sudah dapat digunakan untuk menghilangkan saling tuduh tentang siapa yang memrakarsasi terjadinya muatan lebih atau overload.
Djoko menjelaskan bahwa manifes bisa membantu petugas UPPKB atau jembatan timbang dalam mengidentifikasi adanya muatan gendong, apabila hasil berat muatan sesuai alat timbang dan informasi manifes tidak sesuai.
"Berarti ada dua kemungkinan, yaitu pengemudinya nakal dan bermain dengan pemilik barang tanpa sepengetahuan pemilik truk atau pemilik barangnya yang nakal, telah mencantumkan manifest muatan barang yang tidak sebenarnya," katanya.
Selain soal manifes, revisi UU LLAJ diharapkan bisa memberikan solusi terhadap ketidakadilan dalam penindakan pelanggaran dimensi dan muatan barang. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengatakan adanya truk over dimension dan over load (ODOL) disebabkan oleh persaingan yang tidak sehat.
Menurutnya, para pengusaha dan pengemudi truk tidak mau menggunakan kendaraan yang melanggar aturan ukuran kendaraan dan muatan.
"Tetapi, mekanisme pasar yang memaksa sedemikian rupa sehingga kita harus [menggunakan truk ODOL]," jelas Gemilang kepada Bisnis, akhir Februari 2022.
Sebagai bagian dari ekosistem logistik, Gemilang mengklaim sudah menyampaikan keluhan dari para pengusaha dan pengemudi truk berulang kali kepada pemerintah. Mereka meminta agar pemilik barang harusnya juga mengikuti aturan juga.
Gemilang menyebut banyak dari industri-industri besar yang memuat barang-barangnya yang melebihi kapasitas muatan ke dalam truk angkutan barang. Kendati demikian, aturan hukum yang saat ini menjadi acuan yakni Undang-Undang No.22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) belum mengatur tanggung jawab pihak pengguna jasa truk ODOL.
Menurut Gemilang, saat ini penindakan justru paling memberatkan pengemudi truk yang langsung berhadapan dengan petugas di jalan. Oleh sebab itu, tuntutan pasar dan landasan hukum yang belum optimal dinilai menjadi sumber permasalahan.
"Pada sisi pemilik barangnya, kalau kita tidak mau mengikuti mereka, kita tidak dapat muatan. Jadi, ini adalah persaingan yang tidak sehat. Sehingga, kalau kita tidak ikut keinginan pemilik barang, tentunya kita tidak dipakai. Itu permasalahannya," tutur Gemilang.