Bisnis.com, JAKARTA - Penyebaran Covid-19 varian Omicron menggerus kinerja industri, meski tak sedalam Delta pada tahun lalu. Hal itu tercermin pada turunnya Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur yang pada Februari menyentuh 51,2, turun dari bulan sebelumnya 53,7.
IHS Markit mencatat, tingkat ekspansi yang lebih rendah dipengaruhi kenaikan kasus Covid-19 yang berimbas pada penurunan kepercayaan dalam berbisnis.
Kelesuan pasar sebagai dampak berkembangnya varian Omicron diakui sejumlah pelaku industri. Alas kaki, misalnya, mengalami penurunan permintaan pada akhir Januari hingga awal Februari 2022.
Firman Bakrie, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mengatakan terjadi penurunan utilitas kapasitas produksi cukup dalam sekitar 40 persen karena permintaan yang sepi.
"Omicron cukup berdampak ke kinerja industri kami. Mal-mal sepi, kemudian omsetnya menurun, kemarin sempat terjadi order yang di-hold dulu," kata Firman kepada Bisnis, baru-baru ini.
Hal yang sama terjadi di industri plastik. Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan pengaturan work from home (WFH) 75 persen di Jakarta berimbas pada penurunan permintaan makanan kemasan. Selain itu, kenaikan harga komoditas dan keterlambatan masuknya bahan baku impor juga berakibat utilitas kapasitas produksi pabrikan yang stagnan.
Baca Juga
Sementara harga bahan baku terus mengalami kenaikan, permintaan di pasar cenderung tidak bergerak.
Di sisi lain, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia tidak memandang peningkatan kasus Covid-19 varian Omicron sebagai ancaman serius bagi kinerja industri.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Bobby Gafur Umar mengatakan kondisi pasar akan kembali bergairah jelang Ramadan dan Lebaran yang juga akan berimbas pada produktivitas industri.
"Yang penting indeks keyakinan konsumen naik. Kita juga dalam waktu dekat mau ada bulan puasa dan Lebaran, biasanya spending naik," ujar Bobby.
Menurut Bobby, hal yang paling membebani industri dalam negeri beberapa waktu ini yakni kenaikan harga bahan baku didorong inflasi yang tinggi di sejumlah mitra dagang utama seperti Amerika Serikat dan China.
Hal lain yang juga berpeluang mengganjal kinerja industri adalah reli kenaikan harga energi yang dipanasi oleh konflik Rusia-Ukraina. Jika sebelumnya kenaikan harga energi diprediksi bertahan enam bulan hingga satu tahun, maka berpeluang lebih panjang dengan adanya invasi Rusia ke Ukraina.