Bisnis.com, JAKARTA - Reserve Bank of Australia mengatakan akan tetap sabar menahan suku bunga kebijakannya dalam menghadapi risiko yang berasal dari invasi Rusia ke Ukraina dan efek rambatannya terhadap harga energi.
Bank sentral, seperti yang diharapkan, memutuskan mempertahankan suku bunga pada rekor terendah 0,1 persen pada hari Selasa (1/3/2022).
Gubernur Philip Lowe mengatakan pihaknya melihat adanya peningkatan inflasi tetapi masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa peningkatan tersebut dapat berkelanjutan sesuai target 2-3 persen yang ditetapkan RBA.
“Perang di Ukraina adalah sumber utama ketidakpastian baru,” kata Lowe. “Inflasi di beberapa bagian dunia telah meningkat tajam karena kenaikan besar dalam harga energi dan gangguan pada rantai pasokan pada saat permintaan yang kuat.”
Dolar Australia turun tipis karena para pedagang membaca bahasa dalam keputusan itu sebagai sikap yang relatif dovish tetapi kemudian kembali menguat. Imbal hasil obligasi tiga tahun bergerak datar di 1,54 persen sedangkan imbal hasil 10 tahun naik tipis menjadi 2,19 persen.
Pendapat Lowe tentang Ukraina dan pernyataannya bahwa upah dan inflasi tetap di bawah target sasaran menggarisbawahi posisinya yang dovish. Tidak seperti rekan-rekan negara maju yang bersiap untuk menaikkan suku atau sudah melakukannya untuk mengendalikan harga konsumen, kepala RBA menganggap dia punya waktu di pihaknya untuk memantau perkembangan eksternal.
Baca Juga
“Pertumbuhan upah yang diredam mendukung kasus RBA untuk tetap bertahan, bahkan jika kenaikan harga energi yang dipicu oleh konflik Ukraina meningkatkan tekanan inflasi untuk sementara," ujar Ekonom Bloomberg James McIntyre.
Lebih lanjut, McIntyre melihat kenaikan harga kemungkinan akan memudar pada kuartal II/2022, sementara kenaikan upah masih jauh dari mencapai kecepatan yang dibutuhkan untuk menopang inflasi yang berkelanjutan dan membenarkan kenaikan suku bunga.