Bisnis.com, JAKARTA – Salah satu perusahaan raksasa energi dunia, yakni Shell Plc. memutuskan untuk menarik diri dari bisnis minyak dan gasnya di Rusia. Penarikan bisnis itu termasuk dalam hal kemitraan dengan perusahan asal Rusia di negara tersebut.
Seperti dilansir dari Bloomberg, Selasa (1/3/2022), penarikan bisnis Shell itu merupakan bentuk sikap atas aksi invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina.
Sebelum Shell, langkah serupa juga lebih dulu diumumkan oleh BP Plc pada Minggu (28/2/2022). BP melaporkan bahwa mereka akan melepas sahamnya di BUMN Rusia yakni Rosneft OJSC. Hal itu membuat BP harus mengalami potensi kerugian hingga US$25 miliar.
Sementara itu, penarikan diri Shell membuat perusahaan mengakhiri kemitraannya dengan Gazprom PJSC, yang dikendalikan Kremlin yang terkait erat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Perusahaan juga akan mengakhiri kemitraan eksplorasi dengan Gazprom yang disebut Gydan, dan menarik diri dari pipa Nord Stream 2, yang sudah ditangguhkan oleh otoritas Jerman
Namun demikian, tidak dijelaskan berapa potensi kerugian yang akan dialami oleh Shell atas keputusannya itu. Perusahaan hanya menyebutkan bahwa aset tidak lancar di bisnisnya di Rusia mencapai US$3 miliar.
Shell tercatat memiliki 27,5 persen dari fasilitas LNG Sakhalin. Selain itu perseroan juga memiliki 50 persen saham di Salym Petroleum Development, yang tahun lalu menghasilkan pendapatan sebesar US$700 juta bagi perusahaan.
Baca Juga
“Keputusan kami untuk keluar [dari Rusia] adalah keputusan yang kami ambil dengan penuh keyakinan. Kami tidak bisa – dan kami tidak akan – berdiam diri,” kata Chief Executive Officer Shell Ben van Beurden, seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (1/3/2022).
Langkah yang diambil Shell muncul setelah Oemerintah Inggris, yang bersama dengan Amerika Serikat dan sekutu lainnya berusaha menekan ekonomi Rusia serta meyakinkan Putin bahwa invasinya ke Ukraina akan menimbulkan kehancuran finansial.