Bisnis.com, JAKARTA — PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) memperkirakan bahwa inflasi 2022 dapat mencapai 3,3 persen karena sejumlah faktor, mulai dari peningkatan berbagai indeks harga, kebijakan pemerintah, hingga dampak konflik geopolitik perang Rusia vs Ukraina.
Chief Economist Bank Mandiri Faisal Rachman menilai bahwa tren inflasi cenderung masih akan meningkat sepanjang tahun ini. Pemulihan ekonomi di dalam negeri berpotensi membuat catatan inflasi 2022 lebih tinggi dari 2021.
"Secara keseluruhan, kami masih memperkirakan inflasi 2022 akan menguat menjadi 3,30 persen, dari 1,87 persen pada 2021," ujar Faisal dalam keterangan resmi, dikutip pada Senin (28/2/2022).
Adapun, pemerintah dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) mematok target maksimal inflasi 2022 di angka 3 persen.
BMRI menilai bahwa inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation) masih akan berlanjut pada 2022 karena meningkatnya perputaran uang. Menurut Faisal, memang ada dampak sementara dari penyebaran Covid-19 varian Omicron terhadap perputaran uang, tetapi secara umum trennya meningkat.
Di sisi inflasi dorongan biaya (cost-push inflation), tekanannya cenderung meningkat karena inflasi indeks harga produsen (producer price index/PPI) dan indeks harga grosir (wholesale price index/WPI) sudah berada di atas inflasi indeks harga konsumen (consumer price index/CPI).
Menurut Faisal, tekanan kenaikan lainnya terhadap inflasi 2022 adalah pemberlakuan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen, yang berlaku mulai 1 April 2022. Normalisasi harga yang diatur, seperti kenaikan tarif angkutan umum dan cukai hasil tembakau akan turut berpegaruh terhadap kinerja inflasi tahun ini.
"Konflik geopolitik antara Ukraina dan Rusia juga dapat memperpanjang kenaikan harga komoditas global, sehingga memberikan tekanan terhadap harga energi dan bahan bakar Indonesia. Konflik tersebut selanjutnya dapat memperkuat harga emas," ujar Faisal.