Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Donna Gultom mengakui lonjakan volume impor besi dan baja (HS 72) sepanjang 2021 disebabkan belum jelasnya arah kebijakan pemerintah terkait dengan produk dumping yang masuk ke Tanah Air.
Alasannya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah menyampaikan keputusan untuk memperpanjang pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) produk cold rolled coil/sheet (CRC/S), HRC hingga HRC paduan dari sejumlah negara eksportir termasuk China kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sejak 2016.
Hanya saja, keputusan perpanjangan pengenaan BMAD atas impor produk dumping dari Jepang, Korea Selatan, China, Malaysia, Taiwan hingga Vietnam tidak kunjung diputuskan lewat Peraturan Menteri Keuangan atau PMK tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping.
Adapun seluruh instrumen pengaturan impor lewat BMAD itu sudah berakhir pada 2016 lalu seperti PMK 65/2013 jo. PMK 224/2014 untuk produk CRC/S dari Jepang, Korea Selatan, China, Taiwan hingga Vietnam dan PMK 23/2011 untuk produk HRC (canai panas tidak dibalut/disepuh/dilapisi) dari Malaysia dan Korea Selatan.
“Yang merasa dirugikan sekarang kan industri hulu, tetapi selama ini yang memanfaatkan barang dumping itu kan industri hilir situasinya seperti itu karena kita tidak jelas arahnya hulu atau hilir yang kita prioritaskan, pemerintah belum bisa memutuskan,” kata Donna melalui sambungan telepon, Minggu (27/2/2022).
Terkendalanya keputusan BMAD itu juga dilatari oleh tingginya desakan importir atau industri hilir untuk mensetop upaya perpanjangan bea masuk produk baja murah tersebut. Hal itu juga membuat berlarutnya keputusan perpanjangan pengenaan bea masuk pada impor atas produk baja murah itu.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan volume impor besi dan baja (HS 72) sepanjang 2021 sebesar 13,03 juta ton atau mengalami peningkatan 15 persen dari pencatatan 2020 di posisi 11,35 juta ton. Kendati demikian, nilai impor HS 72 pada 2021 menyentuh di angka US$11,95 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 74 persen dari torehan 2020 di angka US$6,85 miliar.
“Banyak sekali mereka importir bahan CRC/S menjual lagi ke dalam negeri untuk industri-industri hilir itu kan besar sekali marginnya itu sulit sekali kita karena mereka sudah beberapa tahun menikmati itu tiba-tiba dikenakan bea masuk bisa dibayangkan ekonominya terganggu,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Industri baja nasional masih dirundung tingginya impor yang menggerus utilisasi produksi hingga menjadi 40 persen saja pada semester I/2021.
Ketua Klaster Produk Flat The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Melati Sarnita mengatakan, peningkatan impor yang terjadi akan semakin berdampak pada utilisasi industri baja nasional, di mana sampai dengan semester I/ 2021 hanya sebesar rata-rata 40 persen.
“Masih jauh dari kondisi good utilization sebesar 80 persen,” kata Melati dalam keterangannya, Jumat (24/12/2021). Dia mengatakan, peningkatan impor baja dengan kode HS 72 sebesar 20 persen terhitung tinggi. Khusus untuk produk CRC/S, selain mengalami peningkatan sebesar 63 persen dari tahun sebelumnya, sebanyak 700.000 ton, atau 53 persennya merupakan CRC/S paduan.
Melati mengkhawatirkan kondisi tersebut akan terus berlangsung sampai kuartal kedua 2022 jika pemerintah tidak segera melakukan pengendalian, karena kuota impor terus diberikan.