Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Asosiasi Roll Former Indonesia (ARFI) Nicolas Kesuma mengatakan kenaikan volume dan nilai impor impor besi dan baja (HS 72) sepanjang 2021 tidak melulu disebabkan karena daya saing harga produk turunan dalam negeri.
Nicolas beralasan pada sejumlah produk seperti cold rolled coil/sheet (CRC/S) memiliki selisih harga barang impor dengan buatan lokal yang tidak terlalu lebar. Malahan, impor CRC/S dari China cenderung lebih mahal ketimbang negara lain.
“Pada umumnya harga CRC/S impor dan dalam negeri tidak selisih terlalu jauh, tidak selalu impor lebih murah dari lokal, apalagi impor dari China ada Bea Masuk 5 persen,” kata Nicolas melalui pesan WhatsApp kepada Bisnis, Minggu (27/2/2022).
Ihwal lonjakan volume dan nilai impor produk HRC belakangan ini, lanjut Nicolas, disebabkan karena Emiten BUMN produsen baja PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. tidak memasok HRC ukuran di bawah 2 milimeter.
“Krakatau Steel hanya pasokan yang lebih dari 2 milimeter. HRC kebanyakan dari Jepang dan harga Jepang tidak lebih murah dibanding negara lain,” kata dia.
Di sisi lain, Nicolas mengatakan asosiasinya mendukung komitmen pemerintah untuk melindungi pelaku industri dengan menerapkan aturan tarif barrier bea masuk anti dumping (BMAD) dan non tariff barrier lewat kewajiban Standar Nasional Indonesia (SNI)
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan volume impor besi dan baja (HS 72) sepanjang 2021 sebesar 13,03 juta ton atau mengalami peningkatan 15 persen dari pencatatan 2020 di posisi 11,35 juta ton. Kendati demikian, nilai impor HS 72 pada 2021 menyentuh di angka US$11,95 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 74 persen dari torehan 2020 di angka US$6,85 miliar.
Seperti diberitakan sebelumnya, Industri baja nasional masih dirundung tingginya impor yang menggerus utilisasi produksi hingga menjadi 40 persen saja pada semester I/2021.
Ketua Klaster Produk Flat The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Melati Sarnita mengatakan, peningkatan impor yang terjadi akan semakin berdampak pada utilisasi industri baja nasional, di mana sampai dengan semester I/ 2021 hanya sebesar rata-rata 40 persen.
“Masih jauh dari kondisi good utilization sebesar 80 persen,” kata Melati dalam keterangannya, Jumat (24/12/2021).
Dia mengatakan, peningkatan impor baja dengan kode HS 72 sebesar 20 persen terhitung tinggi. Khusus untuk produk CRC/S, selain mengalami peningkatan sebesar 63 persen dari tahun sebelumnya, sebanyak 700.000 ton, atau 53 persennya merupakan CRC/S paduan.
Melati mengkhawatirkan kondisi tersebut akan terus berlangsung sampai kuartal kedua 2022 jika pemerintah tidak segera melakukan pengendalian, karena kuota impor terus diberikan.