Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah, melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Gas Bumi (SKK Migas) menyoroti adanya ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan minyak mentah di Indonesia. Ketidakseimbangan ini menyebabkan pemerintah harus mengimpor hingga 500 ribu barel minyak.
Benny Lubiantara, Deputi Perencanaan SKK Migas mengungkapkan, saat ini produksi minyak mentah di Indonesia hanya mampu mencapai 700.000 ribu barel per hari (bph). Adapun konsumsinya mencapai 1,4 juta bph hingga 1,5 juta bph.
"Ada gap yang besar, yang mana mau tidak mau harus impor," ungkap Benny dalam acara Energy Outlook 2022 yang disiarkan oleh CNBC Indonesia, Kamis (24/02/2022).
Pada 2030, Pemerintah memiliki target produksi minyak sebesar 1 juta bph dan gas 12 miliar kaki kubik per hari (BCFD). Pun, kata Benny, jika target tersebut dapat tercapai ditambah adanya transisi energi, Indonesia masih mengalami defisit minyak 500.000 barel yang harus diimpor.
"Katakanlah nanti 2030 dapat mencapai produksi 1 juta bph dengan asumsi adanya transisi energi, ini konsumsi minyak growth tidak ada, kita masih ada defisit di atas 500.000 barel yang mau tidak mau harus kita impor," paparnya.
Sementara itu untuk gas alam, pada masa transisi energi ini, konsentrasi pemerintah masih berada pada ketersediaan/supply dan permintaan/demand. Pasalnya potensi pasokan gas lebih banyak terdapat di Indonesia bagian Timur, sedangkan permintaan didominasi di Indonesia bagian Barat.
Baca Juga
Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki tantangan dari sisi infrastruktur.
"Bagaimana manage mismatch adanya lokasi sumber daya dan sumber demand," ucap Benny.
Dengan demikian, dalam menjalani operasional sektor hulu migas di tengah masa transisi energi ramah lingkungan, target-target yang harus dicapai harus dikalkulasikan dengan tepat. Karena investasi di hulu migas diproyeksikan akan menurun.
Investor akan mengalihkan belanja modalnya ke sektor ramah lingkungan. Negara-negara produsen migas seperti Indonesia mau tidak mau juga harus bersaing dengan negara lain yang memiliki insentif fiskal yang lebih menarik.
"Ketika ternyata demand itu ternyata tidak turun, karena implementasi transisi energi ini tidak mulus alias berjalan sesuai yang diprediksikan. Ini harus antisipasi naiknya harga komoditas di era transisi energi ini," jelas Benny.
Ditambah lagi dengan adanya tensi geopolitik yang saat ini tengah melanda Rusia dan Ukraina yang mendorong naiknya harga komoditas termasuk migas.
Benny melanjutkan, menarik investor untuk berinvestasi di hulu migas akan menjadi lebih menantang. Sehingga diharapkan, pemerintah memiliki perbaikan kebijakan yang radikal, mulai dari iklim investasi, insentif yang menarik, dan sebagainya.
"Kita berharap supaya ada perbaikan-perbaikan yang radikal. Khususnya dari daya tarik fiskal hulu migas, supaya investor tertarik datang," pungkasnya.