Bisnis.com, JAKARTA — Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) cenderung menggunakan dolar Amerika Serikat (AS) ketimbang mata uang lokal atau local currency settlement (LCS) Indonesia bersama dengan China, Jepang, Malaysia dan Thailand untuk kegiatan ekspor dan impor mereka.
Manuver itu diambil untuk mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar dan ongkos pertukaran mata uang saat transaksi lintas negara.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan kecenderungan itu disebabkan karena bahan baku tekstil yang berdasar petrokimia dan cotton dibeli sebagian besar menggunakan dolar as. Di sisi lain, ekspor untuk produk tekstil itu mayoritas dijual dengan harga dolar AS.
“Kalau di tekstil masih banyak menggunakan dolar AS. Kecuali dengan Jepang memang ada beberapa yang menggunakan transaksi LCS. Kalau dengan China sepertinya masih jarang yang menggunakan LCS, karena mereka sendiri masih meminta kita menggunakan US$,” kata Redma melalui pesan WhatsApp, Rabu (16/2/2022).
Di sisi lain, Redma mengatakan, penggunaan dolar AS dilakukan untuk mengurangi beban nilai tukar mata uang imbas transaksi hasil ekspor dan impor produk tekstil tersebut.
“Kalau kita pindah ke mata uang negara mitra LCS kan ada biaya lagi, termasuk ada risiko nilai tukar,” tuturnya.
Baca Juga
Sebelumnya. Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Kasan Muhri mengatakan kinerja ekspor dan impor dalam negeri relatif stabil di tengah potensi penguatan nilai tukar Dolar Amerika Serikat sepanjang 2022.
Kasan menerangkan implementasi perjanjian transaksi lewat mata uang lokal atau local currency settlement (LCS) Indonesia bersama dengan China, Jepang, Malaysia dan Thailand turut menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tahun ini. Kasan mengatakan volume dan nilai transaksi LCS sepanjang 2021 mengalami peningkatan yang signifikan sejak digulirkan pada 2018 lalu.
“LCS antara Bank Indonesia [BI] dengan Bank Central RRT untuk transaksi bilateral termasuk ekspor dan impor menunjukkan keyakinan BI atas stabilitas nilai tukar rupiah ke depan dan ketergantungan terhadap dolar AS tidak lagi terlalu dikhawatirkan,” kata Kasan melalui pesan WhatsApp, Rabu (16/2/2022).
Selain itu, kata Kasan, posisi cadangan devisa di atas US$137 miliar bakal menambah keyakinan bagi eksportir dan importir untuk menghadapi dampak dari penguatan nilai tukar Dolar Amerika Serikat menyusul kebijakan tapering off dari Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed akhir tahun lalu.
“Saya kira kinerja ekspor dan impor kita cukup resilience menghadapi risiko dampak dari Kebijakan The Fed tersebut,” kata dia.