Bisnis.com, JAKARTA - Setelah berpengalaman dua tahun menghadapi masa pandemi, industri manufaktur kembali dihadapkan pada tantangan lonjakan kasus Covid-19 varian Omicron. Meski dampaknya belum terasa mengancam kelangsungan industri, potensi tergerusnya kinerja tetap menanti.
Industri manufaktur mencatatkan pertumbuhan 3,67 persen secara year-on-year sepanjang 2021 yang salah satunya ditopang oleh industri alat angkutan yang meningkat 17,82 persen. Angka pertumbuhan tersebut meleset dari proyeksi pertumbuhan manufaktur oleh Kementerian Perindustrian sebesar 4 persen hingga 4,5 persen untuk 2021.
Sebanyak tiga sektor industri pengolahan non migas masih mencatatkan kontraksi pada tahun lalu. Ketiganya antara lain tekstil dan pakaian jadi, pengolahan tembakau, dan industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik.
Industri tekstil dan pakaian jadi mencatatkan kontraksi 4,08 persen sepanjang tahun lalu, meski tumbuh 5,94 persen pada kuartal IV/2021. Sementara itu, industri pengolahan tembakau tumbuh -1,32 persen dan industri barang elektronik terkontraksi 1,62 persen sepanjang tahun lalu.
"Perjalanan pembangunan sektor industri manufaktur pada 2021 masih diwarnai dengan gejolak dan tantangan akibat pandemi Covid-19. Namun kita mampu melewati dan bisa mengendalikannya," kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, belum lama ini.
Selain akan tetap memberlakukan Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI), Agus juga memastikan ketersediaan bahan baku tercukupi sesuai Peraturan Pemerintah No 28/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.
Baca Juga
Di sisi lain, pelaku usaha cukup ketar-ketir dengan perkembangan lonjakan kasus Covid-19 yang dapat kembali menggerus daya beli masyarakat. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman mengatakan jika pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dinaikkan menjadi level 4, sektor tekstil terancam kembali terkontraksi pada kuartal pertama tahun ini.
"Kalau PPKM-nya sampai membatasi kegiatan usaha seperti mal atau pasar, dan pusat-pusat grosir tekstil, kami khawatir turun lagi," kata Rizal.
Pada 2022, Kementerian Perindustrian menargetkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dapat tumbuh di kisaran 5 persen. Menurut Rizal, realisasinya akan berada pada rentang 3 persen hingga 4 persen untuk tahun ini.
Meskipun telah mengantisipasi penurunan kinerja pasar dalam negeri, Rizal mengatakan kondisi industri pada awal tahun ini cukup kondusif terindikasi dari utilitas kapasitas produksi yang di atas 70 persen. Adapun, pesanan ekspor sudah mengalir hingga April-Mei 2022.
PASAR DARING
Di sisi lain, Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan baik masyarakat maupun produsen sudah terbiasa dengan situasi pandemi dan pembatasan. Penjualan ritel sejauh ini sudah mampu dialihkan ke platform online meski tidak sepenuhnya.
"Demand-nya banyak, sebagian sudah lari ke online, jadi kami sudah mulai terbiasa dengan itu, masyarakat pun sudah terbiasa," kata Redma.
Redma mengatakan tahun ini pengusaha akan bertumpu pada pasar domestik karena kondisi pengapalan yang masih terganjal kelangkaan kontainer dan mahalnya ongkos kirim.
Sementara itu, Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) membidik potensi pasar di luar Pulau Jawa di tengah meningkatnya kasus Covid-19 varian Omicron.
Sekjen Inaplas Fajar Budiyono mengatakan kenaikan harga komoditas seperti kelapa sawit dan batu bara ikut mengerek daya beli masyarakat di daerah sehingga permintaan pun bergeser.
"Begitu daya belinya ada, mereka cenderung berani belanja. Luar Jawa itu cukup membantu seandainya kasus-kasus di Jawa meningkat. Jadi kami tumpuannya ada di luar Jawa," kata Fajar.
Saat ini roda produksi di industri hulu hingga hilir plastik masih berjalan normal di sentra-sentra produksi seperti Solo, Semarang, Surabaya, dan kawasan Bogor, Depok Tangerang, Bekasi (Bodetabek). Fajar pun belum mengubah proyeksi pertumbuhannya pada tahun ini di angka 4,5 persen hingga 5 persen.
Fajar melanjutkan, yang menjadi kekhawatiran terbesar industriawan adalah merebaknya varian Omicron di kalangan pekerja di salah satu industri padat karya tersebut.
Dia meminta pemerintah untuk terus menggenjot sebaran vaksinasi dosis kedua dan booster di kalangan pekerja industri.
TARGET
Institute For Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan pertumbuhan industri manufaktur pada tahun ini bakal meleset dari target pemerintah sebesar 4,5 persen hingga 5 persen. Salah satu faktor yang menjadi tekanan adalah penyebaran Covid-19 varian Omicron yang mulai tinggi dan menyebabkan pemerintah menaikkan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad memprediksi industri manufaktur akan tumbuh di bawah 4,5 persen karena sejumlah sektor penopang terancam tergerus kinerjanya oleh kenaikan level PPKM.
"Agak berat kalau 4,5 persen, saya menduga di bawah 4,5 persen karena industri pokok seperti makanan minuman, kontribusinya besar sekali. Kalau yang pokok mengalami penurunan, dampaknya ke agregat industrinya juga turun," kata Tauhid.
Dia melanjutkan, selain mamin, sektor yang kemungkinan akan terkontraksi jika PPKM kembali dinaikkan menjadi level 4 yakni industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Adapun, industri barang logam dan elektronik diprediksi masih akan negatif pertumbuhannya karena kebutuhan domestik yang masih rendah di awal tahun ini.
Selain terdampak varian Omicron dan PPKM, sektor industri juga masih harus berjibaku dengan tantangan lain seperti lonjakan harga bahan baku dan kenaikan biaya energi.
Faktor lain yang menahan pertumbuhan industri, lanjutnya, yaitu daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.
Sementara itu, mengenai penanganan pandemi, Tauhid mengingatkan pemerintah untuk tetap berhati-hati meskipun tingkat vaksinasi sudah tinggi dan dampak Omicron relatif lebih ringan daripada Delta. Pembatasan ketat dengan penaikan PPKM menjadi level 4 bisa diputuskan terutama di daerah-daerah dengan tingkat infeksi yang tinggi.
"Jadi misalnya DKI besar [jumlah kasusnya], ya sudah DKI dulu saja diterapkan, jadi bisa diantisipasi. Misalnya Kalimantan masih bisa dibendung, ya jangan diberlakukan," jelas Tauhid.