Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Risiko BPA, BPOM Diminta Jelaskan Potensi Bahaya Galon Isi Ulang

BPOM diminta memperjelas hasil uji post-market migrasi BPA pada galon isi ulang agar masyarakat bisa mengetahuinya.
Bisnis depo air atau air isi ulang masih menggiurkan di tengah pandemi virus corona (Covid-19)./istimewa
Bisnis depo air atau air isi ulang masih menggiurkan di tengah pandemi virus corona (Covid-19)./istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah kalangan mengapresiasi langkah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang sudah merampungkan proses harmonisasi rancangan peraturan pelabelan potensi bahaya Bisfenol A pada air minum galon.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan rancangan peraturan pelabelan potensi bahaya Bisfenol A dilihat dalam konteks BPOM menjalankan tugasnya.

"Rancangan peraturan itu perlu dilihat dalam konteks BPOM menjalankan tugasnya meningkatkan keamanan dan mutu pangan dan terkait pemenuhan hak informasi masyarakat atas pangan yang mereka konsumsi," katanya dalam keterangan resmi, Selasa (7/2/2022).

Sebelumnya, BPOM menyebut hasil uji post-market migrasi BPA pada galon isi ulang berbagai kelompok umur menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan

Penggambaran itu, kata Tulus, perlu diperjelas dengan skor angka yang tegas agar masyarakat bisa mengetahuinya. Dia juga menyoroti Kementerian Perindustrian yang lebih mengkhawatirkan daya saing industri ketimbang kesehatan masyarakat.

"Dalih yang mereka gunakan selalu sama, yakni peningkatan standar keamanan pangan bakal menurunkan daya saing industri, padahal itu tidak pernah terbukti," katanya.

Tulus berpendapat sudah jadi kebiasaan industri di berbagai sektor untuk menentang setiap pengaturan standar yang lebih tinggi.

"Semua sektor industri begitu, ketika ada revisi peraturan atau ada regulasi baru, mereka habis-habisan men-delay atau bahkan berupaya menggagalkannya," katanya.

Hal senada dikatakan Achmad Haris Januariansyah, peneliti FMCG Insights, sebuah lembaga riset produk konsumen berbasis Jakarta.

Menurutnya, langkah BPOM yang membuka ruang diskusi lintas sektoral selama proses penyusunan hingga selesainya tahapan harmonisasi rancangan peraturan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia patut mendapat acungan jempol.

Haris menuturkan BPOM juga perlu mempublikasikan dokumen hasil harmonisasi itu untuk meningkatkan transparansi publik, sekaligus mencegah kemungkinan draft berubah akibat lobi dan desakan berbagai pihak. Dia pun mencontohkan preseden hilangnya ayat tembakau jelang pengesahan Undang-Undang Kesehatan pada 2009.

"Tidak tertutup kemungkinan preseden serupa terulang pada rancangan peraturan pelabelan BPA," katanya.

Haris mengatakan sekitar 30 persen lebih masyarakat mengkonsumsi air minum isi ulang sehingga BPOM perlu memberikan penjelasan dan kajian ilmiah post-market migrasi BPA.

Dia menilai inisiatif pelabelan risiko BPA pada air galon tidak relevan lagi untuk dinegosiasikan karena jaminan kesehatan masyarakat Indonesia harus didahulukan di atas kepentingan apapun.

Dia juga berharap industri AMDK memberi dukungan penuh pada BPOM dan bukannya melakukan langkah kontraproduktif atas temuan ilmiah terkait potensi bahaya BPA pada galon air minum.

"Masyarakat tentu ingin tahu bagaimana mereka harus menyikapi keamanan produk air galon yang rutin mereka konsumsi," katanya.

Adapun, Bisfenol A (BPA) adalah senyawa kimia pembentuk Polikarbonat, jenis plastik pada umumnya galon isi ulang.

BPOM menggolongkan BPA sebagai senyawa kimia berbahaya bila sampai berpindah dari kemasan pangan ke dalam produk pangan dan terkonsumsi melebihi batas maksimal yang dapat ditoleransi tubuh, yakni sebesar 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg).

Draf revisi BPOM atas peraturan label pangan olahan tertanggal 28 November 2021 menyebut produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat wajib mencantumkan label peringatan "Berpotensi Mengandung BPA".

Namun, pengecualian berlaku untuk produsen yang mampu membuktikan sebaliknya via pengujian laboratorium terakreditasi atau laboratorium pemerintah.

Untuk produsen AMDK yang menggunakan kemasan selain plastik polikarbonat, BPOM membolehkan perusahaan mencantumkan label "Bebas BPA".

Draf juga menyebut produsen AMDK punya waktu tiga tahun untuk berbenah dan mempersiapkan diri sebelum aturan itu berlaku penuh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Thomas Mola
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper