Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral bersama sejumlah stakeholders mulai menggodok mekanisme pajak karbon dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Penerapan pajak karbon akan mulai berjalan pada 1 April 2022. Kebijakan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Regulasi tersebut telah disahkan DPR sejak 7 Oktober 2021.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa dalam penerapan pajak tersebut, pemerintah pertama kali menyasar PLTU berbasis batu bara.
“Kami bersama kementerian terkait sedang menyusun mekanisme, sedang menyusun juga batas-batasnya. Bagaimana mengombinasikan ke arah batasan atas emisi atau CAP,” katanya dalam seminar virtual, Senin (7/2/2022).
Lebih lanjut, dia menuturkan bahwa pemerintah sedang mengombinasikan regulasi terkait perdagangan karbon dan pajak karbon.
Dalam pembahasan di pemerintah, kata dia, setidaknya tiga isu menjadi konsentrasi bersama. Ketiganya adalah ketentuan penerapan pajak karbon, pelaksanaan perdagangan karbon, sekaligus penerapan pembangkit energi baru terbarukan (EBT).
Baca Juga
Dadan menyebutkan bahwa langkah itu tidak dapat dijalankan oleh satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi baik antara swasta dan pemerintah untuk merealisasikan aturan tersebut. Dalam proses tersebut, Kementerian ESDM telah melakukan uji coba perdagangan karbon dengan melibatkan 80 unit PLTU.
Sementara itu, DPR menetapkan harga karbon sesuai UU HPP mencapai Rp30 per kg CO2. Sejumlah negara juga telah melakukan uji coba, di antaranya Uni Eropa, Swiss, Selandia Baru, Kazakhstan, Korea Selatan, Australia, Kanada, hingga China dan Meksiko.