Bisnis.com, JAKARTA - Gelombang surat utang yang berkaitan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dari negara berkembang mulai membanjiri pasar global dengan total penerbitan mencapai US$1,8 triliun pada tahun ini.
Dilansir Bloomberg pada Rabu (2/2/2022), penerbitan oleh negara berkembang ini bahkan dua kali lebih cepat dibandingkan dengan ekonomi maju pada 2021 dari tahun sebelumnya, menurut data dari Institute of International Finance (IIF).
Tingkat pertumbuhan penjualan obligasi ESG mencapai 97 persen di pasar dengan ekonomi maju pada tahun lalu, dibandingkan dengan 227 persen di negara berkembang.
IIF juga mencatat total penerbitan ESG di negara berkembang dan negara berkembang yang lebih maju mencapai US$230 miliar pada 2021, lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai US$75 miliar.
Sementara itu, kelompok industri finansial tersebut juga memprediksi pendanaan dengan tanggung jawab sosial di dunia bakal tembus US$1,8 triliun pada 2022.
Kendati demikian, pembiayaan semacam itu tetap memiliki risiko. Investor bisa saja terjebak dalam klaim hijau yang berlebihan atau greenwashing atau penggunaan pencitraan lingkungan dan etika yang menyesatkan dari perusahaan.
Baca Juga
Ditambah lagi, sulitnya meminta pertanggungjawaban dari perusahaan karena syarat keterbukaan lebih longgar di negara berkembang ketimbang dengan negara yang lebih maju.
Sementara itu, dari sisi peminjam, hal tersebut menawarkan kesempatan emas setelah Januari menjadi bulan terburuk untuk ukuran bagi obligasi dolar sejak Maret 2020.
Persaingan surat utang global akan meningkat mengingat kesungguhan Federal Reserve yang akan menaikkan suku bunga.
Manajer Uang Senior Emso Asset Management Jens Nystedt mengatakan akan ada kenaikan tren preferensi untuk surat utang yang berhubungan dengan keberlanjutan.
"Kami memprediksi penerbitan yang kuat dari investor surat utang negara berkembang dan korporasi tahun ini karena kelas aset menarik lebih banyak minat dan arus masuk," ujarnya.
Namun, bukan berarti investasi ESG mudah. Sekitar 92 persen dari obligasi negara di indeks obligasi pasar berkembang JPMorgan Chase & Co., yang memiliki target iklim, hanya sekitar 22 persen yang melaporkan progres setiap tahun, menurut Goldman Sachs.
Oleh karena penerbitan meningkat dari negara-negara berkembang tidak dibarengi dengan pengawasan yang ketat, analis yang skeptis melihat adanya potensi penerbitan surat utang yang murah.
Selain itu, ada kekhawatiran hasil pendanaan tidak digunakan untuk proyek dengan kepentingan lingkungan, sosial, ataupun tata kelola.