Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengantisipasi penerapan Permen ESDM No 26/2021 tentang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap agar berjalan optimal.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa Permen tersebut telah mengatur jelas soal penerapan kebijakan itu di lapangan.
“Di Permen diatur pembentukan semacam tim pengaduan dengan tujuan untuk memastikan prinsip-prinsip PLTS Atap ini berjalan secara optimal,” katanya kepada Bisnis, Minggu (30/1/2022).
Lebih lanjut, Permen 26/2021 tersebut memang mengatur perihal pembentukan pusat pengaduan PLTS Atap. Nanti tim tersebut akan menerima pengaduan dari pelanggan PLTS Atap maupun pemegang IUPTLU bila terjadi masalah.
Dadan menjelaskan bahwa regulasi ini merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya sebagai upaya memperbaiki tata kelola dan keekonomian PLTS Atap. Aturan ini sebutnya sebagai langkah merespons dinamika yang ada terkait pengembangan energi terbarukan dan upaya menurunkan emisi gas rumah kaca.
Selain itu, dia menegaskan bahwa Permen ESDM tentang PLTS Atap telah didukung oleh seluruh stakeholder sesuai hasil rapat koordinasi yang dipimpin Kemenko Perekonomian Airlangga Hartarto pada 18 Januari lalu.
Baca Juga
Hasil rapat itu juga menemukan sejumlah dampak yang terjadi akibat penerapan Permen ESDM tersebut. Beberapa di antaranya adalah potensi kenaikan biaya pokok pembangkitan (BPP), subsidi dan kompensasi, kehilangan penjualan PT PLN serta pendapatan dari capacity charge.
Berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, target PLTS Atap sebesar 3,6 GW yang akan dilakukan secara bertahap hingga tahun 2025, akan berdampak positif pada hal-hal berikut, di antaranya:
- Berpotensi menyerap 121.500 orang tenaga kerja
- Berpotensi meningkatkan investasi sebesar Rp45 triliun–Rp63,7 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp2,04 triliun–Rp4,1 triliun untuk pengadaan kWh Exim
- Mendorong tumbuhnya industri pendukung PLTS di dalam negeri dan meningkatkan daya saing dengan semakin tingginya tingkat komponen dalam negeri (TKDN)
- Mendorong green product sektor jasa dan green industry untuk menghindari penerapan carbon border tax di tingkat global
- Menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 4,58 Juta Ton CO2e;
- Berpotensi mendapatkan penerimaan dari penjualan nilai ekonomi karbon sebesar Rp0,06 triliun per tahun (asumsi harga karbon 2 USD/ton CO2e).