Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) melaporkan terjadi penurunan harga tandan buah segar atau TBS yang signifikan setelah implementasi kebijakan domestic market obligation (DMO) dengan harga khusus atau domestic price obligation (DPO) sejak Kamis, (27/1/2022).
Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung mengidentifikasi penurunan harga TBS itu mencapai 27,5 persen yang terjadi di 16 provinsi perkebunan sawit milik petani. Adapun, harga TBS saat ini berada di posisi Rp2.550 per kilogram atau terpaut relatif lebar dari harga sebelum kebijakan DMO sebesar Rp3.520 per kilogram.
“Dan ini akan semakin melorot dalam 3 hari ke depan jika tidak teratasi,” kata Gulat, Sabtu (29/1/2022).
Gulat mengatakan asosiasinya sudah meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengantisipasi dampak negatif dari kebijakan DMO dan DPO terhadap harga TBS petani.
“Harga DPO [Rp9.300] jangan menjadi patokan pembelian TBS petani, itu sudah tegas kami sampaikan sejak awal. Faktanya semua pabrik kelapa sawit menggunakan harga itu sebagai rujukan, maka rontoklah harga TBS kami,” kata dia.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan memastikan kebijakan DPO tidak berlaku pada seluruh produk minyak sawit mentah (CPO) yang dipasok ke dalam negeri. Harga khusus hanya diterapkan pada bahan baku untuk minyak goreng domestik.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan harga khusus sebesar Rp9.300 per kilogram CPO dan Rp10.300 per liter olein hanya berlaku untuk volume yang wajib dipasok eksportir untuk kebutuhan dalam negeri, yakni sebesar 20 persen volume ekspor.
"Sampai saat ini harga DPO hanya untuk 20 persen dari volume yang diekspor," kata Wisnu ketika dimintai konfirmasi, Jumat (28/1/2022).
Jika merujuk data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), volume ekspor CPO dan turunannya mencapai 34,2 juta ton sepanjang 2021. Dengan demikian, lanjut Wisnu, pasokan CPO dengan harga Rp9.300 per kg setidaknya menjangkau sekitar 6,8 juta ton yang dipasok untuk kebutuhan domestik.
"Volume ini untuk minyak goreng cukup. Sementara itu, untuk kebutuhan industri, seperti bahan baku oleokimia dan biodiesel harga tetap normal [tidak terikat DPO]," kata Wisnu.
Kementerian Perdagangan memperkirakan kebutuhan minyak goreng pada 2022 mencapai 5,7 juta kiloliter (kl). Kebutuhan rumah tangga diperkirakan sebesar 3,9 juta kl yang terdiri atas 1,2 juta kl minyak goreng kemasan premium, 231.000 kl kemasan sederhana, dan 2,4 juta kl dalam bentuk curah. Adapun kebutuhan industri diperkirakan mencapai 1,8 juta kl.