Bisnis.com, JAKARTA - Praktik kerja paksa yang ditengarai banyak dilakukan produsen besar di Malaysia, membetot perhatian dunia bisnis global. Hal ini dikhawatirkan akan berpengaruh pada investasi langsung negara dengan produksi minyak sawit terbesar.
Kekhawatiran adanya perilaku tidak manusiawi terhadap tenaga kerja di Malaysia mulai santer dalam 3 bulan terakhir, berlanjut menyebar dari industri kelapa sawit ke bisnis lain.
Permasalahan ini utamanya merugikan pekerja yang kebanyakan hidup dalam kondisi yang miris. Di sisi lain, kasus ini juga akan memengaruhi investasi langsung dan mematikan kesepakatan kontrak.
"Di Malaysia, kerja paksa adalah masalah yang kami pandang pokok. Perusahaan yang tidak memenuhi standar, kemungkinan aliran modalnya lebih sedikit, sementara itu perusahaan yang melakukan hal yang benar bisa bertransaksi dengan [harga] diskon relatif," ujar Manajer Investasi abrdn Plc., Daniel Ng, dilansir Bloomberg pada Senin (10/1/2022).
Kepala Ekonom dan Kepala Riset AMMB Holdings Bhd., di Kuala Lumpur Anthony Dass mengatakan praktik kerja paksa oleh perusahaan berdampak nyata pada perekonomian suatu bangsa.
Praktik tersebut merugikan investasi asing langsung dan kesepakatan kontrak, sekaligus mengurangi permintaan barang dan jasa perusahaan. "Di sisi lain, [kerja paksa] merusak investasi dalam hal modal manusia yang dapat menyebabkan ekonomi. mandek," katanya.
Baca Juga
Direktur Senior Ekuitas Affin Hwang Asset Management di Kuala Lumpur mengatakan Gan Eng Peng menilai praktik tersebut juga memengaruhi pasar ekuitas negara.
Indeks saham acuan Malaysia turun 3,7 persen pada tahun lalu karena ukuran ekuitas global naik 17 persen. Ukuran ekuitas negara Asia Tenggara telah jatuh dalam 6 dari 8 tahun terakhir.
Di samping investasi langsung, faktor adanya praktik kerja paksa juga akan berpengaruh terhadap penilaian ESG (lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan).
Direktur Keuangan Keberlanjutan Fitch Ratings Nneka Chike-Obi mengatakan survei investor menunjukkan bahwa kondisi pekerja yang sehat dan pemenuhan hak asasi manusia termasuk dalam perhatian mereka terhadap faktor keberlanjutan.
“Investasi yang bertanggung jawab merupakan bagian integral dari keputusan investasi kami. Kami memiliki ekspektasi yang jelas terhadap perusahaan-perusahaan dalam portofolio kami,” kata perwakilan Norges Bank Investment Management, yang mengawasi Dana Pensiun Pemerintah Global.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) di bawah PBB menunjukkan Malaysia memiliki lebih dari 2 juta pekerja migran atau sekitar 14 persen dari total populasi, belum termasuk yang tidak terdokumentasi. Kebanyakan berasal daari Indonesia, Bangladesh, dan Nepal.
Namun, para pekerja ini mayoritas tinggal di fasilitas hunian yang tidak memadai, menurut Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia. Perusahaan di Malaysia juga dituduh telah menerapkan jam kerja yang berlebihan, tidak membayar upah, menahan dokumen identitas pekerja dan membuat mereka terjerat hutang.
"Ini adalah bentuk perbudakan modern," kata Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia M. Saravanan dalam peluncuran Rencana Aksi Nasional Malaysia tentang Kerja Paksa pada November.
Klaim kekerasan tenaga kerja muncul dari pemasok raksasa penyedot debu Dyson dan pembuat sarung tangan Supermax Corp. Alhasil, pasar saham negara itu terguncang dan merugikan investasi pensiun rakyatnya.
Hal ini diikuti dengan pemutusan kerja sama antara Dyson dengan ATA IMS Bhd., setelah pemeberitahuan kontrak 6 bulan. ATA adalah suplier komponen bagi perusahaan penyedot debu asal Inggris ini. Langkah itu dilakukan setelah Dyson menugaskan audit independen terhadap praktik perburuhan ATA menyusul tuduhan oleh pelapor. Hasil audit belum diungkapkan.
"Kami berharap ini akan memberikan dorongan bagi ATA untuk berkembang," ujar juru bicara Dyson.
ATA mengungkapkan sedang menjalani proses perbaikan terkait dengan praktik ketenagakerjaan, termasuk kebijakan Minggu tanpa lembur. Mereka juga berkomitmen untuk menerapkan jam kerja yang sesuai untuk semua pekerja dan menyiapkan saluran pelaporan eksternal.