Bisnis.com, JAKARTA – Produk industri kertas dan tisu asal Indonesia masih menghadapi hambatan tarif yang cukup besar untuk masuk ke pasar China, meski perjanjian Kesepakatan Ekonomi Komprehensif Kawasan atau RCEP ditargetkan mulai implementasi pertengahan 2022.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida mengatakan produk industri kertas, kertas industri dan tisu Indonesia kurang memperoleh manfaat bahkan sebelum RCEP hadir. Melalui Asean-China FTA (ACFTA) yang telah diratifikasi Indonesia sejak 2004, China hanya meliberalisasi tarif untuk 8 produk kertas.
Skema perjanjian RCEP yang diharapkan menjadi perjanjian liberalisasi perdagangan terbesar di dunia yang menguntungkan Indonesia ternyata tak memberi ruang yang lebih luas bagi produk kertas RI, terutama ke pasar China.
"Ternyata RCEP belum juga memberikan manfaat maksimal bagi industri kertas, kertas industri dan tisu Indonesia ke Tiongkok [China]. Karena, sama dengan skema ACFTA, RCEP tidak memberikan akses pasar yang resiprokal bagi produk-produk kertas unggulan Indonesia," kata Liana kepada Bisnis.com, Sabtu (8/1/2022).
Liana menjelaskan bahwa Chuna sangat melindungi industri kertas domestiknya dan hanya memberikan akses pasar yang sangat terbatas yakni hanya sebanyak 15 produk kertas.
Di sisi lain, Indonesia membuka sepenuhnya akses pasar produk kertas, kertas industri dan tisu bagi China dan membuka akses pasar untuk lebih dari 200 kode HS untuk produk kertas.
Akibat ketidakseimbangan akses pasar ini, Liana mengatakan produk-produk kertas unggulan Indonesia seperti kertas fotokopi, kertas karton dan kertas industri tetap dikenakan bea masuk yang cukup tinggi sampai dengan 6,5% ke China.
"Ketidaksetaraan akses pasar ini tentu saja tidak menguntungkan dan menghambat ekspor produk kertas unggulan Indonesia yang masih harus dikenakan beban bea masuk tinggi ke pasar China, padahal China merupakan pasar utama ekspor kertas Indonesia," katanya.
Tingkat komitmen liberalisasi Indonesia pada tahap awal implementasi RCEP cenderung lebih rendah daripada Asean-China FTA yang mencapai 92 persen atau Asean-Australia-New Zealand FTA yang mencapai 93 persen. Namun, terdapat tambahan penghapusan pada sejumlah pos tarif yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk peningkatan akses pasar.
Sebagai contoh, jumlah pengapusan tarif yang akan dihapus antara Indonesia dan China mencapai 33 pos tarif yang mencakup produk perkebunan, pertanian, otomotif, elektronik, kimia, makanan, minuman, dan mesin.
Beberapa produk industri yang jadi prioritas pembebasan tarif di antaranya adalah produk dalam kode HS 48 yang merupakan kertas dan kertas karton atau barang dari pulp kertas. Sepanjang Januari–November 2021, ekspor produk dalam kode HS 48 ke China dan Hong Kong mencapai US$958,08 juta, turun daripada Januari–November 2020 sebanyak US$974,37 juta.