Bhutan, sebuah negara kecil di kaki Gunung Himalaya dengan 700.000 penduduk, tiba-tiba saja menjadi perhatian dunia, terutama setelah COP-26 di Glasgow November lalu. Ketika semua negara di dunia sedang berjuang keras untuk menjadi netral karbon demi menghambat laju pemanasan global, Bhutan mengklaim sudah mencapai status negatif karbon.
Seluruh hutan di Bhutan mampu menyerap 8 juta ton karbon per tahun, padahal total emisi negara itu hanya 1,6 juta ton. Hal itu bisa dicapai karena negara mini tersebut memilih cara berpikir yang berbeda. Jika semua negara menakar pencapaiannya dengan parameter produk domestik bruto (PDB), Bhutan menggunakan indeks kebahagiaan nasional bruto (gross national happiness/GNH) sebagai parameter.
Konsep ini dicanangkan oleh Jigme Singye Wangchuck pada 1972, satu tahun setelah dinobatkan sebagai raja keempat negara itu. Konsep GNH didasarkan pada empat pilar, yakni pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan, pelestarian lingkungan, pelestarian dan pengembangan budaya, dan tata kelola yang baik.
Konsep ini dilengkapi dengan parameter yang lengkap, jelas, dan bisa diukur serta strategi untuk mencapainya. Bahkan, setelah melalui ujian lapangan yang serius, konsep ini kemudian dimasukkan dalam Konstitusi Kerajaan pada 2008.
Hasil dari semuanya itu cukup jelas: lingkungan ekologinya terjaga, masyarakatnya bahagia walaupun tidak kaya. PDB per kapita Bhutan hanya US$2.800 tetapi seluruh masyarakat menikmati fasilitas kesehatan dan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi.
Masyarakat menikmati kehidupan sosial, budaya, dan keagamaan secara seimbang dan optimal, sehingga Gallup menganugerahkan status honourable mention dalam riset World Happiness Report 2021. Ekologi Bhutan juga terjaga dengan baik. Luas hutan negara kecil itu saat ini mencapai 72% dari luas negara, jauh melampaui amanat konstitusi sebesar 60%. Air gunungnya melimpahkan energi listrik hijau, yang surplusnya kemudian diekspor ke India dan Bangladesh.
Jauh sebelum Perjanjian Paris sebenarnya Bhutan sudah mencapai tahap karbon negatif tetapi orang memandangnya sebelah mata, karena menganggap apa yang dilakukannya tidak material secara global.
Akan tetapi kemudian orang menyadari bawa Bhutan mencapai tahap itu bekat kerja keras yang konsisten, dilandasi oleh cara berpikir dan sikap yang benar terhadap alam, manusia, dan kehidupan. Negara di ketinggian dunia tersebut mampu menempatkan ekonomi secara proporsional terhadap semua itu.
Sebenarnya konsep ‘jangan memutlakkan ekonomi’ bukan hal baru. Pada 1973 setahun setelah Bhutan mengundangkan konsep GNH, Schumacher menulis buku legendaris berjudul Small is Beautiful, yang mengatakan bahwa perekonomian modern sejatinya tidak sustainable.
Perekonomian modern mengakuntansikan sumber daya alam (SDA) sebagai pendapatan yang elastis, bukan sebagai barang modal yang terbatas. Negara atau perusahaan yang memiliki akses terhadap SDA merasa mendapatkan kelimpahan rejeki, tetapi lingkungan sekitar dan generasi berikut tetap miskin.
Konsep ini dilanjutkan oleh Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001 melalui bukunya Beyond GDP yang diterbitkan oleh OECD. Dia mengatakan bahwa GDP terlalu ringkih jika dipakai sebagai parameter tunggal untuk menakar kesuksesan sebuah masyarakat atau negara.
Robert Kennedy yang juga dirujuk oleh Stiglitz, mengatakan bahwa GDP mencatat seluruh capaian ekonomi, termasuk kegiatan ekonomi yang merusak lingkungan, merusak kesehatan, bahkan juga mesin perang.
Namun, di sisi lain GDP tidak mampu mencatat banyak hal penting bagi kehidupan seperti keindahan puisi, kedamaian keluarga, persahabatan, atau cinta. Pemikiran environmentalist dan ekologis semacam itu diabaikan untuk sekian lama sampai tiba-tiba saja pandemi Covid-19 datang menyerang.
Fakta bahwa secara global 280 juta orang terjangkit, 5,4 juta orang meninggal, dan ekonomi terkoreksi hingga 2,9% pada 2020 dan 3,4% pada 2021 memaksa semua pihak untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Para pihak yang selama ini abai mulai menyadari bahwa risiko dan krisis lingkungan, khususnya perubahan iklim, bisa lebih berbahaya dibanding Covid-19.
Orang mulai menerima bahwa kenaikan suhu bumi dengan rata-rata 20 derajat Celsius akan melahirkan cuaca ekstrem, kerusakan ekosistem, krisis pangan dan air bersih, lebih dari 250 juta orang akan kehilangan tempat tinggal, dan hantaman paling parah akan dirasakan oleh kelompok dasar piramida (kaum miskin).
Konsep GNH bukan sindiran semata, karena terbukti efektif membangun sebuah negara yang mengakomodasi, pertama, kepentingan ekonomi, kedua, kualitas hidup manusia, dan ketiga, dan pelestarian lingkungan. Menimbang ciri sosial budaya dan values yang dimiliki masyarakat Indonesia serta keberpihakan pemerintah, mestinya konsep tersebut bisa diakselerasi di Indonesia.
Para pemangku kepentingan ekonomi, terutama dunia bisnis, bisa dipastikan akan lebih mudah menerima kebijakan dan peraturan yang lebih menyeimbangkan ketiga kepentingan tersebut. Hal yang mendesak adalah membangun narasi publik tentang happiness first ini agar setiap pihak melibatkan diri dalam gerakan menyelamatkan bumi, manusia, dan kehidupan.