Bisnis.com, JAKARTA – Harga komoditas batu bara diproyeksi akan tetap menguat di paruh pertama 2022. Kemudian akan melandai pada paruh kedua.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan bahwa penguatan komoditas fosil terus berlanjut seiring kebutuhan yang akan terus terjadi pada awal 2021.
"Kenaikan harga energi sudah tidak secepat seperti tahun ini. Atau paling tidak paruh kedua itu bisa jadi harga yang tadinya mahal sudah mulai agak melemah," katanya kepada Bisnis, Jumat (31/12/2021).
Lebih lanjut, dia menyebut penambang mulai lebih siap menyuplai batu bara kepada importir pada tahun depan. Berbeda dengan tahun ini, perusahaan kesulitan memenuhi tingginya permintaan terhadap komoditas tersebut.
Sementara itu, batu bara dinilai paling cuan pada 2021 seiring krisis energi yang terjadi sejumlah belahan dunia. Tingginya harga gas turut mendorong peralihan penggunaan bahan bakar untuk pembangkit.
"Batu bara yang diuntungkan. Tapi juga kalau dilihat demand-nya lebih besar dari yang bisa kita prduksi," ujarnya.
China menjadi negara paling banyak mengimpor batu bara. Kondisi ini disebabkan aktivitas industri yang mulai pulih di negara itu. Peningkatan permintaan juga terjadi di negara maju lainnya.
Namun pasokan batu bara dunia sempat mengalami keterbatasan sehingga kian memanaskan harga komoditas itu. Bursa ICE Newcastle mencatat harga terendah komoditas ini berada di angka US$76,35 per metrik ton pada 6 Januari 2021.
Tingginya permintaan global pada komoditas ini membuat batu bara memanas hingga menembus rekor US$272,5 per metrik ton pada 5 Oktober. Ini adalah harga tertinggi batu bara sepanjang masa.
"Trennya [peningkatan permintaan] terjadi di 2020, sebagian kenaikan sudah dimulai akhir 2020, tapi mulai meningkat tajam di 2021," terangnya.