Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Di Balik 'Asap Hitam' Rokok Ilegal

Tekanan ekonomi cenderung membuat masyarakat mencari rokok yang lebih murah, dan hal itu produsen rokok ilegal memanfaatkan situasinya. Terlebih lagi di tengah kenaikan cukai rokok tahun depan.
Barang bukti rokok dan pita cukai ilegal yang dimusnahkan oleh jajaran Ditjen Bea dan Cukai di Cikarang, Jawa Barat, Rabu (22/12/2021)/ Wibi Pangestu Pratama
Barang bukti rokok dan pita cukai ilegal yang dimusnahkan oleh jajaran Ditjen Bea dan Cukai di Cikarang, Jawa Barat, Rabu (22/12/2021)/ Wibi Pangestu Pratama

Bisnis.com, JAKARTA — Tak sampai lima menit setelah berita pemusnahan rokok ilegal oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terbit di berbagai media pada Rabu (22/12/2021), Bisnis berkesempatan mewawancarai seorang pedagang pasar bernama Dodi.

Sehari-hari, Dodi sebenarnya menjual makanan ringan dan berbagai bahan pokok di salah satu pasar di Jawa Barat.

Namun, di antara dagangannya, dia menjual rokok tak bercukai atau ilegal. Kepada Bisnis, dia bahkan membagikan foto slop rokok jualannya.

Dia mengaku bahwa menjual rokok itu memang terlarang, karena dari namanya saja sudah ilegal.

Namun, ada ungkapan setengah miris yang menyertai kiriman fotonya. Menurut Dody, rokok ilegal itu lumayan membantu pemasukannya di tengah pandemi Covid-19.

"Saya juga jualan yang begini [rokok ilegal]. Lumayan untungnya. Diam-diam, ya. Sebenarnya menjual juga tidak boleh, tapi kondisi lagi begini mah gimana, duit yang lebih utama. Biar bisa nambah uang dapur," ujar Dodi saat berbincang dengan Bisnis, melalui panggilan telepon, Rabu (22/12/2021).

Baginya, rokok ilegal sama-sama menguntungkan pedagang dan pembeli, tentu karena harganya yang lebih murah daripada rokok legal.

Bagaimana tidak, berdasarkan temuan Kementerian Keuangan, 86,01 persen rokok ilegal adalah polos atau tidak memiliki cukai dan 5,57 persen lainnya menggunakan cukai palsu, sehingga harga produknya dapat lebih murah.

Menurut Dodi, pedagang tak perlu merogoh kocek dalam-dalam untuk menyediakan rokok di kiosnya, pembeli pun dapat tetap ngebul dengan biaya kecil. Mereka sama-sama diuntungkan.

"Sama rokok legal mah rasanya beda jauh. Tampilan barangnya mirip-mirip. Lagipula, yang penting kalau masyarakat mah harganya terjangkau, apalagi situasi lagi begini, harga serba naik, pusing yang ada [kalau tidak merokok]," ujarnya.

Isapan tembakau memang banyak mengisi aktivitas orang-orang di pasar, baik pedagang, pekerja-pekerja harian, juga pembeli. Bahkan, Dodi sampai berkesimpulan bahwa masyarakat akan berusaha keras untuk tetap bisa merokok, di tengah tekanan ekonomi saat pandemi Covid-19.

Dia pun mendapatkan banyak cerita dari pembelinya, yang menyadari bahwa ada kejanggalan dari rokok-rokok berharga miring itu, sebagian bahkan terang-terangan menyebut rokok itu ilegal. Namun, tetap saja dibeli, karena harganya memang lebih murah dan kebutuhan untuk ngebul tetap tercukupi.

"Banyak cerita dari pembeli, apalagi seperti yang lagi ngerjain proyek, ngebangun rumah, [rokok ilegal] sangat kepakai [untuk dikonsumsi para pekerja proyek]. Pokoknya menguntungkan lah, makanya banyak beredar soalnya membantu buat ekonomi," ujar Dodi.

Di balik manfaat itu, Dodi tak menutup mata bahwa banyak pula masalah dari penjualan rokok ilegal. Misalnya, ketika ada orang yang membeli rokok kemudian mengedarkannya sendiri ke warung-warung di kawasan permukiman masyarakat.

Menurutnya, banyak orang yang tidak berhati-hati saat mengedarkannya, padahal mereka tahu pasti rokoknya ilegal. Risikonya, mereka dapat terciduk oleh petugas bea cukai, dan tidak sampai di sana karena pedagang-pedagang seperti Dodi pun masuk radar pemantauan.

"Memang lagi ramai ditangkap [yang menjual rokok-rokok ilegal]. Alhamdulillah saya mah enggak [ditangkap], soalnya [dari luar terlihatnya] jualan cemilan," ujar Dodi sambil tertawa.

Selain itu, dia bercerita bahwa banyak oknum yang 'bermain' dalam peredaran rokok ilegal. Bukan sekali dua kali ada orang mengaku sebagai petugas bea cukai dan mendatangi warung-warung lalu menyita rokok-rokok ilegal, tetapi menurut Dodi setelah itu mereka justru menjualnya ke warung-warung, bukan menyita atau mengamankannya.

"Ada juga yang benar petugas bea cukai, kalau datang ngasih surat [surat tugas]. Kalau kena oleh petugas cukai asli dendanya juga gede. Memang oknum-oknum itu yang buat celaka. Menyalahgunakan, bahaya," ujarnya.

Tekanan Ekonomi

Kondisi yang terjadi kepada Dodi diamini oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani. Menurutnya, tekanan ekonomi cenderung membuat masyarakat mencari rokok yang lebih murah, dan hal itu produsen rokok ilegal memanfaatkan situasinya.

Kementerian Keuangan pun menyatakan bahwa kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun depan membawa risiko meningatknya peredaran rokok ilegal. Oleh karena itu, Askolani semakin melototi peredaran rokok ilegal saat ini dan ke depannya.

"Kegiatan barang-barang ilegal masih cukup tinggi dalam dua tahun ini, malah tendensinya ada peningkatan dari 2019 sebelum pandemi," ujar Askolani usai pemusnahan barang-barang ilegal di Tempat Penimbunan Pabean Cikarang, Bekasi, Jawa Barat pada Rabu (22/12/2021).

Menurutnya, peredaran barang ilegal membawa dampak negatif bagi keuangan negara dan perekonomian secara umum. Kerugian itu muncul dari tidak adanya penerimaan cukai dan konsumsi masyarakat yang beralih dari produk legal ke produk ilegal, yang notabene harganya lebih murah.

Dia pun menilai bahwa peredaran barang ilegal dapat mengganggu daya saing ekonomi Indonesia. Oleh karena itu penindakan barang ilegal, menurut Askolani, menjadi vital terutama di masa pandemi Covid-19.

"Secara nasional kerugiannya [dari barang-barang ilegal berkisar] Rp26 miliar," ujar Askolani.

Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad) Wawan Hermawan menilai bahwa kebijakan CHT sangat berkaitan dengan dinamika persebaran rokok ilegal. Peredaran barang tak resmi itu kemudian akan berkaitan dengan wacana penurunan prevalensi merokok.

Menurutnya, mayoritas negara menunjukkan tren penurunan prevalensi merokok untuk usia 15 tahun ke atas, termasuk di Indonesia. Meskipun begitu, Indonesia merupakan salah satu negara dengan rata-rata prevalensi merokok untuk usia 15 tahun ke atas yang lebih tinggi dari rata-rata OECD.

Rata-rata prevalensi merokok usia 15 tahun ke atas di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah 17,1 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper