Bisnis.com, JAKARTA – PT Angkasa Pura II (persero) atau AP II mengeklaim kondisi keuangan dan beban utang yang ditanggung selama pandemi Covid-19 masih dapat dikelola dengan baik.
Direktur Utama AP II Muhammad Awaluddin menuturkan ada sejumlah hal yang menyebabkan kondisi keuangan AP I saat ini masih dalam tahap terkendali.
Sejumlah hal tersebut di antaranya karena beberapa pembangunan strategis bandara dan pengembangan terminal baru, serta landasan pacu atau runway rata-rata sudah rampung sebelum pandemi melanda. Kondisi tersebut, kata dia, cukup membantu meringankan arus kas perseroan selama pandemi.
Kemudian, lanjutnya, AP II masih didukung oleh pasar domestik yang kuat karena memiliki Bandara Soekarno - Hatta. Dalam situasi normal, pasar bandara Soetta didominasi atau sebesar 74 persen -78 persen oleh penumpang domestik, sisanya sebesar 22 persen – 24 persen didominasi oleh internasional.
Padahal, pangsa pasar yang tergerus selama pandemi ini adalah penumpang internasional karena kebijakan pembatasan dan penutupan antarnegara.
“Faktanya, kami masih kuat di domestik. Ini yang mungkin membantu kami. Berbeda dengan bandara di Denpasar [AP I] yang memang secara rasio terbalik antara domestik dan internasional. Bandara di Bali lebih mendominasi pasar internasional,” ujarnya usai konferensi pers, Senin (13/12/2021).
Baca Juga
Di sisi lain pihaknya juga telah melakukan sejumlah upaya luar biasa seperti cost leadership dengan maksimal. Perseroan memangkas besar pembiayaan tak mendesak. Hal ini juga dibarengi dengan cash management dan konsep pendanaan yang lebih efektif dengan obligasi dan tenor lebih panjang.
Bahkan, bersama dengan pemasok, AP II juga menginisiasi supplier financing bersama dengan bank supaya proses lebih sederhana dan suku bunga yang menarik.
AP II juga memotong besaran belanja modal atau capex hingga 91 persen pada saat pandemi. Sebagai gambaran, pada 2020 realisasi capex AP II hanya senilai Rp712 miliar dari pagu semula sekitar Rp7 triliun. Pemotongan anggaran belanja modal juga akan dilanjutkan pada tahun ini.
“Tahun ini capex yang kami realisasikan Rp452 miliar. Kami tidak mengarah ke investasi baru. Investasi kami tunda,” tekannya.
Sebelumnya, rekan operator bandara pelat merah lainnya PT Angkasa Pura I (persero) atau AP I mengkonfirmasi jumlah utang kepada investor dan kreditur per November 2021 mencapai Rp28 triliun bukan senilai Rp35 triliun sebagaimana informasi yang beredar.
“Sebenarnya kondisi Angkasa Pura I itu. Memang kita utang kepada kreditur dan investor sampai dengan November 2021 itu sebesar Rp28 triliun. Jadi bukan Rp35 triliun tapi Rp28 triliun,” ujar Direktur Utama AP I Faik Fahmi dalam konferensi pers, Rabu (8/12/2021).
Faik Fahmi menambahkan di luar utang tersebut terdapat kewajiban lain yang mesti ditanggung oleh AP I seperti kewajiban kepada karyawan, kewajiban kepada supplier sekitar Rp4,7 triliun. Dengan demikian, ujar Faik, total kewajiban pembayaran AP I mencapai Rp32,7 triliun.
“Namun kewajiban kita kepada kreditur dan investor itu sekitar Rp28 triliun per November 2021,”jelasnya.
Faik menegaskan kondisi yang dialami oleh AP I ini penyebabnya bukan masalah bersifat struktural. Faik juga membantah persoalan AP I bukan dikarenakan nilai utang yang besar tetapi dengan utang besar tersebut AP I belum beranjak pulih akibat dampak pandemi Covid-19.
Utang tersebut berpotensi menjadi lebih buruk lagi apabila tak dilakukan upaya penyehatan atau restrukturisasi.
Besaran utang tersebut, jelas Faik, dikarenakan sebelum pandemi Covid-19, perseroan tengah disibukkan membangun 10 bandara untuk menyelesaikan masalah kekurangan kapasitas. Jumlah penumpang yang dilayani di bandara AP I, sebutnya, lebih tinggi dari kapasitas tersedia.
“Contoh pada 2017 kapasitas bandara AP I untuk 71 juta penumpang per tahun tetapirealisasi penumpangnya sudah 90 juta per tahun dan meningkat lagi pada 2018 menjadi 90 juta penumpang per tahun. Jadi bisa dibayangkan dengan realisasi penumpang tinggi dari kapasitas dan muncul persoalan pelayanan,” paparnya.
Dalam membiayai pembangunan 10 bandara tersebut, operator pelat merah tersebut menekankan menggunakan baik dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Penyertaan Modal Negara (PMN) tetapi melalui pendanaan internal dan eksternal seperti obligasi.