Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian mencatat terdapat lima pelaku produsen bahan baku obat (BBO) dari sebelumnya tiga.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Muhammad Khayam mengatakan kelima pelaku tersebut termasuk PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP) yang telah menjual 11 jenis molekul BBO.
Industri BBO lainnya antara lain PT Ferron Par Pharmaceutical yang memproduksi omeprazol injection grade, PT Riasima Abadi Farma yang memproduksi parasetamol, serta PT Kalbio Global Medika dan PT Daewoong Infion yang memproduksi eritropoietin.
Adapun, 11 jenis molekul BBO yang telah dikomersialkan oleh KFSP antara lain clopidogrel, simvastatin, atorvastatin, rosuvastatin, entecavir, lamivudin, zidovudin, efavirenz, tenofovir, remdesivir, dan povidone iodine.
Sementara itu, 11 BBO lainnya tengah dalam penyempurnaan, antara lain candesartan, valsartan, amlodipine, glimepiride, bisoprolol, rifampisin, parasetamol, pantoprazol, risperidone, meloksikam, dan telmisartan.
"Industri farmasi formulasi siap menggunakan BBO hasil produksi dalam negeri dengan beberapa pertimbangan seperti keberlanjutan BBO, kesesuaian spesifikasi BBO, konsistensi BBO, kemudahan audit, waktu delivery, hingga harga yang bersaing," kata Khayam dalam keterangannya, dikutip Senin (13/12/2021).
Khayam menjelaskan bahan baku pembuatan obat terdiri atas dua bagian, yaitu bahan baku aktif atau active pharmaceutical ingredients (API) dan bahan baku tambahan atau eksipien.
Saat ini, Khayam mengatakan kementeriannya tengah memacu investasi dan produksi dalam negeri guna menekan impor bahan baku obat. Sementara itu, beberapa industri pun sudah mulai melakukan percobaan terhadap BBO dari KFSP agar mereka segera dapat melakukan penggantian sumber bahan baku dari impor menjadi lokal.
Adapun, untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBO impor yang masih berkisar 90-95 persen, langkah lain yang perlu dilakukan yakni prioritas pengembangan dan pendampingan penerapan peta jalan Making Indonesia 4.0 untuk industri farmasi, dan pengusulan skema insentif yang lebih baik untuk mendorong investasi di sektor farmasi.
Kemudian, pengembangan fasilitas produksi Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) di Balai Besar Kimia Kemasan (BBKK) Kemenperin, serta penyiapan kawasan industri untuk sektor industri farmasi dalam rangka mendukung terbentuknya ekosistem produksi yang lebih baik.
Lebih lanjut, telah diterbitkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 16/2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) Produk Farmasi. Melalui penerapan aturan ini, penghitungan TKDN produk farmasi tidak lagi memakai metode cost based, melainkan dengan metode processed based.
Penghitungan nilai TKDN produk farmasi yang berdasarkan pada processed based, dilakukan dengan pembobotan terhadap kandungan bahan baku API sebesar 50 persen, untuk proses penelitian dan pengembangan sebesar 30 persen, proses produksi sebesar 15 persen, serta proses pengemasan sebesar 5 persen.
"Metode tersebut diharapkan dapat mendorong pengembangan industri BBO, serta meningkatkan riset dan pengembangan obat baru serta berkontribusi terhadap akselerasi program pengurangan angka impor untuk mendukung kemandirian obat," ujarnya.